Jumat, 06 Januari 2012

PENGARUH KONFLIK ISLAM DAN KRISTEN DI AMBON TERHADAP KERUKUNAN TALI KASIH SAYANG (PELA GANDONG)



A.    PENDAHULUAN
            Islam sudah lama masuk ke Maluku, dibawa oleh pedagang-pedagang dan mubaligh-mubaligh Islam yang ikut bersama-sama mereka. Ahli sejarah berbeda pendapat tentang kapan tepatnya Islam masuk ke Maluku. Namun dapat dipastikan bahwa pada pertengahan abad XV agama Islam sudah dianut dan berkembang pada kerajaan-kerajaan di Maluku.[1]
Warga Maluku telah lama menanam pelagandong (saling sayang) antar Islam dan Kristen yang sudah cukup lama. Istilah pelagandong bukan hanya simbol tapi juga merupakan gerakan yang disebut Gerakan Pemuda Pela Gnadong. Yang mana dalam gerakan itu terdapat ikat tali kasih sayang antara Kristen dan Islam di Ambon hingga hubungannya senantiasa harmonis juga Ambon tetap percaya diri dengan julukannya “Ambon Manise”.
            Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
            Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.[2]
Ada isu yang mengklaim bahwa Tragedi Ambon, Maluku, terjadi karena skenario Jakarta yang dirancang oleh pihak yang haus kekuasaan, mempunyai niat busuk menciptakan kekacauan nasional, agar pemerintah yang sah saat itu tidak lagi memiliki legitimasi politik dan karena itu harus di tumbangkan.[3]
Konflik antar warga yang terjadi di Maluku telah menyita perhatian banyak pihak, baik dari dalam maupun luar negeri. Tidak dapat dipungkiri, muncul juga sikap-sikap emosional-konfrontatif dari komunitas-komunitas yang bertikai. Tetapi, ada yang mengambil sikap etis untuk menghadirkan pendekatan rasional-persuasif dalam menyelasaikan konflik dan berupaya menganyam paradigma baru dari sebuah perdamaian abadi.[4]
Pertanyaan Mayor dan Minor
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka pertanyaan mayornya adalah bagaimana pengaruh konflik islam dan kristern di Ambon terhadap kerukunan tali kasih sayang (pelagandong)? Pertanyaan minornya adalah apa saja faktor penyebab konflik agama tersebut? Seperti apa hubungan Islam dan Kristen di Ambon? Sejauh mana upaya pemerintah untuk meredam konflik berdarah tersebut?
            Pernyataan Penelitian (menjawab pertanyaan mayor)
            Tragedi maluku bermula dari dari peristwa konflik biasa (kriminal murni) antara dua orang yang kebetulan berbeda agama. Peristiwa tersebut akhirnya menjadi pemicu konflik massal dan destruktif. Saling membakar, membunuh menculik, menembak dan menjarah adalah pemandangan keseharian yang tampak secara telanjang hampir di se-antero kota dan pulau Maluku pada saat eskalasi konflik meningkat.
            Pada minggu-minggu pertama konflik, telah berkembang berita yang sangat beragam di media massa yang tidak didukung oleh fakta sebenarnya. Ada media massa yang menyatakan bahwa yang melakukan pemalakan adalah Yopi, pemuda Kristen, terhapa Usman, sopir beragam Islam. Ada juga media massa yang memberitakan bahwa yang memalak Yopi adalah Usman, tentunya dengan fakta-fakta yang diperoleh dari sumber media massa tersebut. Di kemudian hari pun peristiwa yang telah menciptakan opini politik yang keliru dan memancing sentimen agama ini ternyata tidak cepat diklarifikasi.
            Peristiwa itu dengan cepat menjalar ke berbagai wilayah di Maluku, kepulauan Sula, Haruku, Saparua, Seram, Maluku Tenggara, Buru, Banda, dan hampir ke seluruh wilayah Maluku Utara. Harga satu kata yang mendukung jumawa, “dendam”, lalu dilanjutkan secara tidak terduga dengan aksi balas dendam secara proadis. Sangat menyedihkan, traumatis, menyentuh, menjengkelkan, merugikan, mencekam, mendebarkan, menegangkan dan menakutkan. Suka atau tidak, konflik ini telah merobek-robek habis semua peradaban yang sangat tua di Indonesia, yaitu kerukunan beragama; yang kata orang di Maluku-lah tempatnya.
            Konflik berawal dari kriminal murni dan berperan sebagai faktor pemicu yang sangat dirancang oleh konseptor dan konspirator. Dimulai dengan pembakaran beberapa rumah milik warga beragam Kristen di antara Batu Merah dan Mardika, persis pada tanggal 19 Januari 1999 bertepatan dengan hari raya Idul Fitri 1419 H. Hari yang dipilih, entah oleh siapa orangnya, tapi yang pasti tindakan tersebut telah berhasil memprovokasi massa. Bahkan anak muda bahkan orang tua yang terlibat, namun mereka pasti tidak mengerti latar belakang (causa prima) atau akar persoalan yang sebenarnya. Mereka hanya terprovokasi, terbakar emosinya, lalu memotong membakar, menjarah dan membunuh. Mereka hanya balas dendam, karena keluarganya menjadi korban konflik.
            Konflik terbuka berskala massal dengan penggunaan kekerasan bukanlah peristiwa yang bisa serta merta terjadi. Mesti ada tahapan atau fase-fase yang dilalui. Konflik seperti itu hanya bisa terjadi kalau ada prakondisi yang memungkinkan dan mencukup bagi terjadinya konflik terbuka. [5]
·         Menjelang Peristiwa Kerusuhan
Kerusuhan Ambon yang berkobar sejak 19-1-1999, sesungguhnya telah didahului oleh beberapa peristiwa yang mengarah kepada konflik antar kelompok yang bernuansa SARA. Beberapa peristiwa tersebut seperti yang dikemukanan oleh  S. Sinansari Ecip a.l. adalah di Wailete, Air Bak, dan Dobo.
Dimulai penyerangan Wailete tanggal 13-12-1998. Peristiwa di Air Bak tanggal27-12-1998, di Dobo (mayoritas Kristen), Tanimbar, dan Maluku Tenggara terjadi kerusuhan tanggal 14-1-1999.
Dusun Wailete (Muslim Buton) diserang, dilempari batu dan rumah-rumahnya dibakar, oleh massa desa Hative Besar (Kristen). Penduduk mengungsi, mereka tidak mengetahui apa sebabnya mereka diserang. Keadaan dapat diatasi oleh Polisi Brimob, tetapi persoalannya tidak diselesaikan.
Warga Muslim Air Bak diserang, dilempari batu. Alasan warga Kristen menyerang karena ada babi yang diusir dari kebun milik warga Muslim. Penyelesaiannya tidak jelas, malah warga Muslim yang ditahan Polisi.
Sebelumnya terjadi perlawanan mahasiswa Kristen terhadap aparat keamanan tanggal 8 November 1998, mahasiswa Kristen Unpatti dan UKIM (Universitas Kristen Indonesia Maluku) mendemo Korem 174 Patimura di Ambon. Mereka menghujat Dan Rem Kolonel Hikayat (Islam). Demonstrasi berlangsung dua hari, mereka membakar beberapa mobil petugas keamanan, melukai tukang becak, dan merusak serta melempari kaca kantor PLN Ambon. Ada korban luka-luka di pihak mahasiswa 70 orang dan TNI 25 orang.
·         Kerusuhan Ambon Maluku
Pada Hari Raya umat Islam Idul Fitri tanggal 19-1-1999 terjadi kerusuhan besar di Ambon. Pemicu kerusuhan berasal dari pertikaian antara sopir angkot Yopi dan kenek Salim di terminal Batumerah. Konflik antar anak muda di daerah ini sudah biasa terjadi, namun tidak pernah membesar dan melibatkan banyak warga.
Sekonyong-konyong di beberapa tempat di kota Ambon telah terkonsentrasi massa yang besar. Konsesntrasi massa yang mencapai 5-6 ribu orang tersebut sampai sekarang belum jelas siapa penggeraknya. Kemudian terjadi pengusiran, penjarahan, pembakaran rumah orang-orang Islam, terutama yang berasal dari luar Ambon di daerah-daerah yang mayoritas dihuni oleh umat Kristen. Rumah-rumah orang Islam di sekitar Batu Merah dibakar oleh orang-orang Kristen.
Terjadi pengungsian di Masjid al Fatah dan Masjid Jami’, keduanya di Jl. Sultan Babullah. Orang-orang Islam lalu berjaga disekitar masjid.
Peristiwa penyerangan hari-hari pertama kerusuhan tampaknya hanya berasal dari satu pihak Kristen ke pihak Islam. Namun menurut pihak Kristen, mereka diserang lebih dahulu oleh pihak Islam. Antara kelompok Islam dan Kristen saling menuduh, pihak lain yang memulai dan merencanakan kerusuhan Ambon.
Kelompok Kristen tanggal 27-1-1999 mengeluarkan pernyataan, antara lain bahwa kerusuhan tanggal 19-24 Januari 1999 di beberapa tempat dalam waktu yang hampir bersamaan terkesan diorganisasi dengan rapi. Kelompok Kristen juga membantah keterlibatan Republik Maluku Selatan (RMS) dan menolak RMS identik dengan Kristen. Pernyataan tersebut disampaikan oleh tokoh-tokoh Kristen yang mengatasnamakan umat Kristen di Maluku ialah: Pdt. M.M Siahaya, S.Th. (Sekum BPH Sinode GPM) Mgr. PC Mandagi, Msc. (Uskup Diosis Amboina), Jurjen Soenpiet (a.n. Sinode GMH Perwakilan Ambon), dan Pdt. S.P. Titaley, S.Th. (PGI Wilayah Maluku).[6]
B.     BODY/ISI
1.      Teori
Teori yang digunakan untuk makalah ini adalah textualist. Ini menjelaskan bahwa suatu agama cenderung memaknai kitab suci dengan kalimat yang ada (teksnya). Alasan mengapa mengambil teroi ini adalah karena berdasarkan realita lapangan, sesungguhnya kebanyakan umat Islam tidak memaknai penjelasan atau tafsir al Qur’an secara kontekstual (Bakti;2004;128).  
Lawan dari Teori ini adalah Contextualist. Ini menerangkan bahwa suatu agama cenderung memaknai suatu budaya atau kitab suci berdasarkan konteksnya atau (tafsir). Beberapa orang-orang Islam yang etis memaknai kitab suci mereka dengan bijak dan refrentif.
Penulis mengangkat teori ini sebagai pendukung untuk menerangkan sebab-musabab konflik agama di Ambon. Kita ketahui, pengaruh dari wawasan dan cara pandang kita terhadap sesuatau seperti kitab suci dan agama cenderung berdampak kontradiktif dan kontrovertif. Bahkan sampai ke tingkat saling membenci, mencaci, mengolotkan dan konflik.
Di atas, adalah salah satu contoh memahami alqur’an secara kontekstual yang terkesan lebih bijaksana dan sangat relevan dengan penghidupan. Namun demikian, kefatalan akan memaknai kitab suci secara tekstual juga bukan sedikit yang masih menggunakannya. Dan ini akan menimbulkan dampak yang besar dan melahirkan jiwa-jiwa jihad tanpa memerhatikan makna hakiki dari pacuan (seruan) api juangnya.
            Dalam menggali ataupun memahami ayat-ayat Al Qur’an diperlukan perangkat-perangkat dan instrumen keilmuan yang lain, seperti Ilmu Nahwu, Sharaf (Bahasa Arab), Fiqh, Ushul Fiqh, Ulumul Qur’an, Sosiologi, Antropologi dan budaya   guna mewujudkan AL Qur’an sebagai pedoman dan pegangan umat Islam yang berlaku sepanjang zaman. Memang memahami ayat-ayat Al Quran dengan benar tidaklah mudah, sejarah mencatat, terdapat beberapa kosa kata pada ayat AL Qur’an yang tidak difahami oleh sebagian sahabat nabi dan sahabat langsung menanyakan hal tersebut kepada Nabi, namun untuk masa kita saat ini akan bertanya kepada siapa tatkala kita menemukan beberapa ayat yang sulit untuk difahami. Belum lagi ayat-ayat mutasyabihat yang masih banyak mengandung misteri dari maksud ayat tersebut secara tertulis.
            Oleh karenanya, dalam memahami Al Qur’an diperlukan metode dan pendekatan-pendekatan untuk menafsirkan al Qur’an, agar Al Qur’an dapat memberikan jawaban yang pas dan sesuai dengan sekian banyak persoalan yang berkembang di masyarakat. Jawaban yang sesuai dan pas dengan apa yang dibutuhkan dan dirasakan masyarakat pada saat ini sangat berarti dan berdampak positif bagi Islam yang dikenal sebagai Agama yang rahmatan lil ’alamin.[7]
            Berkaitan dengan konflik di Ambon, maka perlunya masyarakat mengetahui, sejarah perkembangan dan peradaban Islam dan Kristen di daerah tersebut.
            Islam memang agama pertama yang menyentuh Maluku. Islam dibawa oleh para pedagang Aceh, Malaka, dan Gresik antara 1300-1400. Islam menyebar ke Ternate, Ambon, Kepulauan Banda, Tual, Kepulauan Tanimbar, pulau Bacan, pulau Obi, dan Seram. Penyebaran Kristen Katolik (1523-1546) dan Protestan (1605) pun juga berlanjut di Maluku. Agama ini di sebarkan VOC/Belanda.[8]
            Islam dan Kristen akhirnya menyatuh dan saling menghargai antara kepercayaan agama masing-masing. Ini berjalan hingga bertahun-tahun sebelum adanya konflik. Bahkan kita mengenal di Ambon ada namanya Gerakan Pemuda Pela Gandong, komunitas Islam-Kristen.
2.      Metodologi
Yang menjadi kritik dan masukan untuk suatu agama akan kitab sucinya adalah, agar memahaminya secara kontekstual dan menghubungkannya dengan peradaban serta perkembangan zaman. Ambon, Maluku, menjadi sorotan masyarakat nusantara yang menggejolak konflik berdarahnya. Manusia terlihat sudah tak berharga dan menyerupai bangkai binatang yang menakutkan. Wanita dan anak kecil sudah tak bisa lagi memertahankan dirinya sebagai sosok yang dicintai dan disayangi. Dan mala menjadi sasaran sejenisnya untuk di lecehkan dan dicincang-cincang bak daging yang hendak di jual ke pasar.
Rizky Nanlohy Putra Ambon Asli mengomentari di  sebuah situs internet:
“tau nggak dan saya tergabung di Pemuda Pela-Gandong Maluku, jadi tiap ada info atau isu kita salaku Pemuda asli maluku baik itu Muslim atau Nasrani akan langsung turun pantau, jika itu orang luar yang bikin kaco siap kami tendang keluar...jika ada yang mengusik Ambon. Apa lagi orang luar, biar Nasrani atau Sodara Muslim sendiri akan saya habisi. Bagemana jika rumah kamu di rusak dan di usik orang Muslim sendiri kamu terima nggak? dan di taman makmur Air Salobar tidak ada kejadian apa-apa hanya Pemuda muslim Pohon Mangga/Taman Makmur memang menangkap orang luar Ambon dari Jawa dan Sulawesi yang akan bikin kaco di Ambon. Ok kalo kamu tidak tahu tentang Ambon jangan ikut campur! Bagemana jika Pulau Jawa di usik oleh para pendatang dari luar Jawa, apa yang akan kamu lakukan? Otak itu pake! dan perlu kamu camkan Islam tidak membenar kan kekerasan, apa Kamu suci dan  kelompok kamu itu benar sedunia? Selama ini sebelum kelompok kalian muncul di Ambon hidup itu sungguh harmonis dan ketika kelompok kalian muncul dan masuk di Ambon naaahhh itu kerusuhan besar besar an dan kalian juga membantai keluarga saya pada hal kita sama Muslim...Anjing biadap kalian”.[9]
Komentar Rizky di atas menunjukkan bahwa, sebagian masyarakat Ambon sangat menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaran berbeda agama. Hubungan Islam dan Kristen sangat dijaga keharmonisannya lewat gerakan ini. Hingga hal-hal yang mengundang konflik dengan cepat mereka redahkan namun pemicu lain yang di luar dugaan dengan pesat dan cepat mempengaruhi sehingga konflik berkelanjutan.
Oleh karena itu memang perlunya memahami Islam bukan sekedar dari teksnya saja akan tetapi secara kontekstual itu lebih penting serta memperhatikan dan menghubungkan dengan keberagaman agama dan peradabannya. Jika kembali kepada Qur’an, sesungguhnya agama-agama yang ada di dunia ini adalah dari Allah SWT. Dan jelas termaktub dalan kitab suci. Nabi Muhammad saw pun mengakui ini sebagai keragaman yang wajib kita hargai agar harmonis. Lihat dalam Q.S Al-hujurat;13.
Seperti yang di kutip dalam sebuah situs dibawah ini:
Bismillahirrahmaanirrahiim
Memahami Al Qur'an Secara Kontekstual

Saat ibu tercinta kembali kepada Allah pada hari senin minggu ke dua bulan September 2006, saya dipertemukan dengan saudara ibu saya yang menurut orang lain berakidah Qurany. Ada pelajaran yang ingin saya bagi dengan teman2 di  milis ini, dari obrolan yang singkat disela-sela waktu lawatan terakhirnya mengantar jenazah ibunda tercinta.
Menurut beliau, terjadinya ekspansi militer yahudi ke negara-negara Arab, janganlah dipandang secara "genetik" dilakukan oleh orang-orang Israel yang notabene berlebel "Yahudi".
Secara eksplisit al Qur'an membahasakannya dengan banny israil. Yang jika diterjemahkan secara "tekstual" akan memiliki tendensi genetik yaitu anak keturunan Israil.
Padahal, lanjut beliau, bahwa konsep Al Qur'an tentang sejarah itu tidak harus difahami secara leter-lek, seperti kasus israil ini. Al Qur'an lebih jauh menjangkau makna idiologi dan pola pikir, bukan hanya evidensi historis.
Karenanya term Namrud, Fir'aun, Qorun, Hamman, dan Israil sebenarnya tidak hanya ditujukan pada person-person yang mewarisi gen nenek moyangnya. Ia lebih ditujukan kepada seluruh manusia agar idiologi, keyakinan dan paradigma dari term-term tersebut tidak sampai meracuni seluruh manusia yang menerima Al Qur'an.
Karena jika hanya terpaku pada sejarah, ya tinggal sejarah dan tidak aktual lagi pada masa sekarang ini. Padahal Al Quran harus diaktualisasikan oleh pengikutnya sepanjang zaman hingga hari kiamah tiba.
Dengan demikian,  fir'aun, Namrud, Hamman, Qorun dll termasuk israil itu sebenarnya masih ada di antara kita. Dan jangan-jangan kita sendiri merupakan fir'aun baru, hamman baru, Qorun baru dsb. karena kita mungkin secara tanpa sadar masih menganut dan mewarisi karakter2 negatif yang tidak dikehendaki Tuhan sebagaimana  Tuhan telah menjelaskannya melalui  icon2 sejarah yang dicantumkannya.
Demikian oleh-oleh kecil saat saya berada di kampung halaman. mudah-mudahan bermanfaat.

Allahu A'lamu wa nahnu laa na'lamu bish showaab
Salam
Abu Wava EIQ.[10]
3.      Analisis
            Bermuara dari pertanyaan minor di atas, maka hal ini akan sangat lekat hubungannya dengan upaya menjawab pertanyaan pengaruh konflik islam dan kristern di ambon terhadap kerukunan tali kasih sayang (pelagandong). Hal ini sangat urgen di ungkap agar mendapatkan titik terang dan benang merah terhadap peristiwa yang terjadi. Juga agar membuka kedok pemicu dari konlfik agama tersebut. Begitu juga upaya yang di lakukan pemerintah dan warga Maluku sendiri dalam meredam konflik tersebut. Jadi, perlu adanya penjelasan mengenai problematika ini.
a.      Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Konflik Agama di Maluku
Suatu kajian yang diselenggarakan oleh LIPI bekerjasama dengan Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi RI yang berlangsung tanggal 13 Maret 2000 telah mengulas hasil identifikasi akar masalah kerusuhan Maluku dan Maluku Utara. Faktor sejarah, kesenjangan sosial ekonomi, masalah agama, birokrasi, budaya, politik dan militer diulas secara garis besar.
·         Faktor sejarah
Jauh sebelum para penjajah Eropa, Portugis kemudian Spanyol, Belanda dan Inggris tiba di kepulauan Maluku, di Maluku Utara telah berdiri dengan kokoh empat kerajaan Islam, yaitu Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Pada saat itu kerajaan Ternate adalah yang paling berpengaruh khususnya dalam ‘mengIslamkan’ sebagian pulau Seram. Daerah Gorontalo (Sulawesi Utara) dan Filipina Selatan). Pengaruh bersar itu hanya menyisakan Maluku Selatan dan pendalaman Halmahera saja sebagai daerah yang masih terbuka bagi Belanda untuk menyebarkan misi Kristen Protestan.
Sebagai seorang sosiolog. Dr. Thamrin Amal Tomagola, pernah menjelaskan mengenai peran Belanda dalam menjalankan siasat devide et impera di Maluku Selatan. Lewat sistem pendidikan yang diskriminatif, Belanda lebih banyak memberi kesempatan pendidikan kepada warga Kristen Protestan dibandingkan kepada warga muslim. Orang Ambon Kristen yang berpendidikan tersebut diberi kemudahan untuk bekerja di birokrasi kolonial Belanda, bahkan yang kurang berpendidikan pun banyak yang bergabung sebagai anggota tentara kolonial Belanda (KNIL). Siasat Belanda yang perlahan menahun ini pada akhirnya mewujudkan segregasi sosial berbasis agama, bahkan hingga ketingkat satuan wilayah yang kecil (negeri-negeri). Pola-pola diskriminatif ini menanamkan benih konflik yang dapat meledak sewaktu-waktu.[11]
·         Faktor Kesenjangan sosial-ekonomi
Kebanyakan warga Islam mempunyai status sosial ekonomi lebih rendah dibandingkan warga Kristen Protestan. Di samping itu, orang-orang Kristen umunya tinggal di pemukiman pusat-pusat wilayah, sedangkan orang Islam kebanyakan tinggal diwilayah pinggiran. Berkembang stereotype bahwa orang Ambon Kristen adalah bermental ambtenaar (anti pekerjaan ‘kasar’), sementara warga Islam tipe pekerja keras; orang Kristen menguasai sektor pemerintahan dan pendidikan di Ambon, sedangkan sedikit orang Islam menguasai sektor perekonomian menengah ke bawah.
Komunitas Kristen yang dicitrakan sebagai ‘kelas atas’ tersebut, belakangan ini cenderung mengalami pergeseran, antara lain karena faktor peningkatan kuantitas dan kualitas umat Islam dan pengaruh yang ditimbulkannya di Maluku. Salah satu faktor penyebab perubahan itu lainnya adalah pertumbuhan penduduk Ambon akibat gelombang Migrasi masuk oleh kaum pendatang (mayoritas Islam) terutama dari Bugis, Buton, Makassar, serta Jawa (Transmigran). Mereka sangat gigih dan berhasil menguasai hampir seluruh sektor ekonomi, dan kemudian semakin banyak yang masuk birokrasi. Faktor lainnya adalah “berkah” dari pembangunan masa orde baru. Oleh keran itu kemudian Islam dilihat sebagai ancaman.
Namun ada pula ketidakpuasan bersama yang dirasakan oleh sebagian warga Kristen dan juga sebagian warga Islam, yakni semakin terpuruknya kondisi ekonomi mereka. Monopoli cengkeh oleh BPPC, terhadap komoditas yang selama ini menjadi sumber kehidupan utama orang Maluku (teruatama MalukuTengah), menyebabkan ambruknya salah satu fondasi perekonomian. Yang membuat masyarakat Maluku menjadi miskin.
Ini juga menemukan sebuah gelaja sosial lain, yaitu bahwa komunitas Islam di Ambon (baik penduduk asli maupun pendatang) merupakan pihak relatif banyak diuntungkan dari hasil pertumbuhan ekonomi dan pembangunan (termasuk pembangunan di bidang pendidikan) di Maluku pada era 1970-80an. Mereka tidak saja menguasai sektor-sektor perekonomian sebagaimana diterangkan sebelumnya, namun juga pelan-pelan menguasai sektor pemerintahan. Dua Gubernur Maluku di era 1990an dijabat oleh orang Ambon beraga Islam. Dalam masyarakat, sejalan dengan menguatnya pengaruh ICMI, kedua pejabat tersebut di isukan melakukan distribusi kekuasaan yang tidak didasarkan atas kompetensi namun dipengaruhi oleh faktor agama.
·         Faktor sosial-politik
Lokakarya LIPI juga mengkonstatir bahwa didirikannya organisasi ICMI cabang Ambon pada paruh pertama tahun 1990 semakin menambah ancaman terhadap komunitas (politik) Kristen. Bahkan salah seorang pakar ilmu sosial menduga bahwa kartu keanggotaan ICMI menjadi semacam ‘SIM’ bagi rekruitmen jabatan-jabatan penting pada birokrasi pemerintahan di Maluku. Hal ini melanggar semacam kesepakatan tak tertulis yang telah berlangsung puluhan tahun (antara warga Islam dan Kristen) mengenai “pertimbangan kekuasaan” dalam pengisian jabatan-jabatan teras di Maluku. Misalnya, apabila Gubernurnya seorang Kristen, maka sekretaris daerahnya seorang Muslim. ‘Kesepakatan’ semacam ini belakangan ini tampaknya kurang diperhatikan lagi oleh sejumlah birokrat muslim. Hal tersebut telah menambah kekecewaan kelompok Kristen. Namun di pihak lain juga ada ketidakpuasan di kalangan Islam yang merasakan dominasi Kristen yang begitu kuat di UNPATTI. Konflik laten untuk memperebutkan strategic resources semacam ini telah berjalan cukup lama.
Faktor lain yang memperlemah adat di Maluku adalah terjadinya birokratisasi pemerintahan desa melalui UU No 5/79 tentang pokok-pokok pemerintahan desa. Dengan UU ini sistim pemerintahan adat pada desa-desa di Maluku dan peran elit tradisional lokal (raja-raja dan saniri negeri di negeri-negeri di Ambon/Maluku Tengah), digantikan oleh Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa.
·         Faktor kependudukan
Dampak negatif dari pesatnya pertumbuhan penduduk kota Ambon yang melahirkan pemukiman yang sangat padat, tingginya tingkat pengangguran, terbatasnya kesempatan kerja dan pendidikan, cenderung tidak mampu lagi diatasi oleh kepemimpinan tradisional (adat) yang telah hancur.
Faktor-faktor ini, di tambah dengan berbagai ketidak puasan lain, membuahkan rasa frustasi yang tinggi dalam masyarakat. Kondisi ini menjadi eksplosif ketika ada faktor-faktor lain, yang membuat kekerasan menjadi eksklusif di Ambon.[12]
b.      Hubungan Islam dan Kristen di Ambon di luar konflik
     Abdullah dan jutaan penduduk Maluku memang layak prihatin. Boleh jadi mereka setengah tak percaya, karena negeri kepulauan yang semula termasyhur sangat rukun dalam tradisi pela gandong, tiba-tiba terkoyak-koyak menjadi arena saling bunuh seperti di Bosnia. Dan seperti mimpi rasanya, tetangga yang dulu begitu ramah, saling bantu-membantu, tiba-tiba menjadi seperti tentara Serbia yang dengan sadis membantai keluarga mereka.
            Mitos selama ini, hubungan ummat Islam dan Kristen di Maluku adalah yang paling harmonis sedunia. Konon dengan tradisi pela gandong, ketika ummat Islam membangun masjid, ummat Kristen turut serta bergotong-royong. Begitu pula saat ummat Kristen membangun gereja, ummat Islam tak segan-segan menyingsingkan baju membantunya. Sebuah situasi harmonis seperti di Desa Sukamaju, tempat tinggal `almarhum' si Unyil yang dicita-citakan penguasa Orde Baru.
            Kini semua itu tinggal kenangan, disertai rasa tanda tanya besar, mengapa api permusuhan antara ummat Islam dan Kristen masih tersisa hingga ke abad ini? Bagaimana sejarah mulainya dan apa pula solusinya?
            Nabi dan Ahlul Kitab• Sejarah interaksi antara Islam-Kristen telah terjadi sejak pertama risalah Islam turun ke bumi empat belas abad lalu. Dalam riwayat disebutkan, ketika Rasulullah saw sedang gamang dan gelisah setelah dijumpai pertama kali oleh malaikat Jibril as, sang istri Khadijah ra mengajaknya pergi menemui saudara sepupunya Waraqah ibnu Naufal yang menjadi rahib Nasrani, untuk meminta penjelasan apa yang sebenarnya sedang terjadi.
            Waraqah inilah yang pertama kali memberitahu bahwa kedatangan Jibril menunjukkan Muhammad telah diangkat sebagai Nabi, berdasar keterangan Injil yang dipelajarinya. Lalu Waraqah berjanji, sekiranya ia masih hidup, ia akan menjadi salah seorang pembelanya saat Muhammad saw diusir oleh kaumnya.
            Muhammad saw, sebelum menjadi Rasul sudah mendapat julukan Al Amin lantaran sifatnya yang mulia dan sangat dipercaya. Sifatnya yang santun menjadikan ia berhubungan baik dengan siapapun; dengan keluarga, sahabat dan musuh dakwahnya sekalipun.
            Dalam hal interaksi dengan kelompok ahlul kitab, ulama besar Syaikh Dr Yusuf Qardhawi dalam Hadyul Islam Fatwai Mu'ashirah (Fatwa Kontemporer) menjelaskan betapa toleransi tampak jelas dalam pergaulan Rasulullah terhadap ahlul kitab, baik Yahudi maupun Nasrani. “Beliau mengunjungi mereka dan menghormati mereka, menjenguk mereka yang sakit, menerima dan memberi sesuatu kepada mereka.”
            Sebelum orang di zaman kini biasa berdialog antar agama, Nabi Muhammad sudah mendahului sejak dulu. Seperti dicatat oleh Ibnu Ishaq dalam As-Shirah, para utusan dari negeri Najran yang beragama Nasrani ketika menghadap beliau di Madinah, mereka menemuinya di masjid setelah waktu ashar. Tatkala tiba waktu shalat, mereka lantas hendak shalat di masjid beliau. Sehingga orang-orang hendak mencegahnya, tetapi Rasulullah bersabda, “Biarkanlah mereka.” Lantas mereka menghadap ke timur dan melakukan sembahyang mereka.
            Jadi, berbeda dengan kondisi di masa kini saat kaum Muslim menerima derma dari non Muslim, Rasulullah memberi contoh seharusnya orang Muslimlah yang berderma kepada sesama Muslim dan orang non Muslim.
            Khusus dengan kaum Kristen, sejak masih di Makkah kaum Muslimin sudah menunjukkan kedekatannya dengan memberikan dukungan kepada pasukan Romawi yang Kristen ketika mereka berperang dengan pasukan Persia yang beragama Majusi (penyembah api). Bahkan mereka turut bersedih ketika mendengar dalam satu pertempuran pasukan Romawi kalah, sebagaimana diabadikan oleh Allah dalam al-Quran Surat Ar-Rum.
            Solidaritas orang Kristen kepada kaum Muslimin pernah terjalin dengan baik di zaman itu ketika sebagian sahabat diperintah oleh Nabi untuk hijrah ke negeri Habsyi yang penduduk dan rajanya beragama Kristen. Di negeri itu sang Raja Negus memberikan suaka kepada kaum Muslimin yang dikejar pasukan penguasa Makkah. Raja Negus sangat terkesan dengan ayat-ayat al-Quran yang memuliakan Nabi Isa as dan ibunya.
            Begitu pula dengan kaum Yahudi. Sebelum kaum Yahudi mengkhianati perjanjian, hubungan antara Nabi dan para sahabatnya dengan komunitas Yahudi di Madinah berjalan baik. Seperti sering diceritakan orang, di Madinah ada seorang Yahudi sering mengganggu Nabi jika beliau lewat di muka rumahnya. Suatu hari ia absen karena sakit. Mendengar itu Nabi menjenguknya. Si Yahudi itu demikian terkejut dan terharu, tak menyangka dijenguk orang yang sering diganggunya. Hingga akhirnya ia masuk Islam.[13]
            Ambon (ANTARA News) - Para pimpinan Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) menyatakan optimistis bahwa pelaksanaan perayaan Natal 25 Desember 2011 dan Tahun Baru 2012 di provinsi Maluku akan berlangsung aman dan damai tanpa diwarnai aksi teror.
            "Berkaca pada kebersamaan dan persaudaraan yang semakin tercipta antarwarga di Maluku, maka perayaan Natal dan Tahun Baru di Ambon dan seluruh wilayah Maluku akan berlangsung aman dan damai," kata Ketua Badan Pekerja Harian (BPH) Sinode GPM, John Ruhulessin, di Ambon, Sabtu malam.
            Ruhulessin mengakui, koordinasi internal maupun eksternal dengan dengan pimpinan organisasi keagamaan lainnya termasuk tokoh masyarakat dan pemuda sudah dilakukan guna lebih mempererat hubungan persaudaraan antarumat beragama di Maluku.
            Apalagi sesuai tradisi umat Muslim akan turut bersama aparat kepolisian dan TNI menjaga dan mengamankan jalannya ibadah persiapan Natal di setiap Gereja yang akan mulai berlangsung Sabtu sore, sama seperti saat umat Muslim menjalankan ibadah puasa dan merayakan Idul Fitri 1432 Hijriah.
            "Keterlibatan umat Muslim dan Kristen untuk bersama-sama menjaga dan mengamankan perayaan hari besar keagamaan masing-masing, merupakan wujud jalinan keharmonisan antarumat beragama di daerah ini yang terbingkai dalam budaya leluhur Pela-Gandong," katanya.
            "Ini menandakan hubungan persaudaraan antarwarga Salam (Muslim-red) - Sarani (Kristen-red) di Maluku telah harmonis kembali, di mana menjadi perekat untuk menangkal berbagai upaya untuk memecah bela persaudaraan dan persatuan masyarakat di daerah ini," ujarnya.
            Sedangkan Ketua Panitia Hari Besar Islam (PHBI) Maluku, Husein Toisutta meminta Umat Kristiani di Ambon dan Maluku untuk tidak terpengaruh berbagai isu maupun provokasi yang sengaja dihembuskan jelang perayaan Natal 25 Desember 2011 dan Tahun Baru 1 Januari 2012.
            "Jangan mempercayai berbagai isu negatif maupun provokasi yang sengaja dihembuskan pihak-pihak tidak bertanggung jawab dengan sasaran menghancurkan tatanan umat beragama di daerah ini," kata Husein Toisuta.
            Dia menegaskan, seluruh komponen umat Muslim di daerah itu juga akan bekerja sama untuk mengamankan perayaan Natal dan Tahun Baru sehingga berjalan aman dan lancar, serta berdampak terhadap peningkatan hubungan silaturahim serta persaudaraan antarumat beragama.
            Menurutnya, umat Muslim juga telah berkomitmen untuk turut terlibat bersama aparat TNI/Polri melakukan pengamanan jalannya ibadah persiapan Natal yang akan dilakukan umat Kristiani pada 24 Desember, sama seperti yang dilakukan umat Kristiani saat ibadah Puasa dan Idul Fitri 1432 Hijriah.
            "Umat Muslim akan terlibat bersama aparat keamanan melakukan pengamanan sehingga terjamin suasana kondusif yang telah sama - sama kita bina selama ini dan perayaan Natal dapat berlangsung dalam suasana suka cita, aman dan damai," katanya.[14]
c.       Upaya Pemerintah dalam Meredam Konflik
Upaya perdamaian:
·         9 Maret 1999
Tim khusus ABRI bertatap muka dengan tim rekonsiliasi dan dicapai kesepakatan bahwa menciptakan rasa aman merupakan proses awal menuju perdamaian. Juru bicara tim khusus ABRI, Laksamana Pertama Isaak Latuconsina menyatakan, keyakinannya bahwa rasa aman itu akan bisa di wujudkan dalam waktu dekat. Sebab, tim ini didukung oleh personal TNI dalam jumlah besar.
·         8 April 1999
Sebanyak 18 orang asal Kabupaten Maluku Tenggara yang tinggal di Ambon dan Jakarta di berangkatkan ke lokasi kerusuhan. Tim kemanusiaan ini merupakan anggota keluarga yang bertikai dan diharapkan dapat mengawali perdamaian antar warga setempat. Selanjutnya akan diturunkan tim berikutnya yang berusaha menyelesaikan masalah itu dengan menggunakan hukum adat “Larwul Ngabal” hingga kehidupan masyarakat bisa kembali seperti semula.
·         12 Mei 1999
Pimpinan umat beragama, tokoh masyarakat dan adat, tokoh pemuda serta pimpinan paguyuban menandatangani ikrar perdamaian di lapangan merdeka, Ambon, Maluku. Mereka sepakat mengakhiri tragedi kemanusiaan yang telah menghancurkan dan memporakporan-dakan sendi-sendi kehidupan beragama, bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Dalam ikrar perdamaian disebutkan bahwa mereka sungguh menyesali semua pengalaman pahit yang memilukan. Mereka juga bertekad membangun kembali hubungan kemanusiaan baru yang didasari rasa cinta sesama, saling menghargai dan menghormati dengan menjunjung nila-nilai kemanusiaan, kekeluargaan dan persaudaraan.
·         3 Desember 1999
Kepala POLRI Jendral (Pol) Roesmanhadi bertemu sekitar 60 tokoh masyarakat Ambon yang tinggal di Jakarta. Pertemuan itu menghasilkan rencana membentuk satuan tugas (Satgas) perdamaian Ambon yang akan dikirim ke Ambon dalam waktu dekat.
·         25 Januari 2000
Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri dalam kunjungannya ke Kota Ambon mengemukakan  pemerintah tetap akan bertanggungjawab atas segala peristiwa pertikaian yang terus berkepanjangan di Kepulauan Maluku.
·         22 Februari 2000
Mantan Perdana Mneteri Belanda Ruud Lubbers memimpin pertemuan rekonsiliasi Maluku, yang dihadiri oleh perwakilan dari kelompok Muslim, Gereja Katolik, Gereja Protestan Maluku, serta Komunitas Ambon di Belanda. Pertemuan itu dilangsungkandi Clingedael Institute, sebuah Lembaga Kajian Kementrian Luar Negeri Belanda.
·         24 April 2000
Sedikitnya 900 orang, yang terdiri dari elit lokal, pemuka agama, dan tokoh masayarakat, melakukan rujuk sosial di atas kapal perang KRI Multatuli dan KRI Arun milik TNI AL, di Maluku. Rujuk sosial ini diharapkan dapat mengembalikan tatanan sosial, budaya, politik, ekonomi, maupun keagamaan di Maluku yang porak-poranda akibat pertikaian kedua kelompok,
·         26 Juni 2000
Persiden Abdurrahman Wahid memberlakukan keadaan darurat sipil di Provinsi Maluku dan Maluku Utara, muali 27 Juni 2000, pukul 00.00 WIT pemerintah berharap keadaan darurat sipil bisa dengan cepat dicabut kembali jika keadaan di kedua provinsi itu normal kembali.
·         8 Desember 2000
Sejumlah 80 tokoh masyarakat muslim dan kristen di Maluku yang terdiri dari unsur pemuka agama, tokoh adat, tokoh pemuda, pimpinan perang, dan aktifis organisasi nonpemerintah bertemu di Yogyakarta untuk menjajaki rujuk sosial di wilayah yang di landa konflik berdarah dalam dua tahun terakhir.
·         31 Januari 2002
Untuk benar-benar menghentikan Konflik yang terjadi di Ambon, sosialisasi terhadap dua kelompok yang terlibat langsung dalam pertikaian masih diperlukan. Oleh karena itu, delegasi dari dua kelompok yang bertikai melakukan pertemuan tertutup dengan fasilitator di Makassar itu, masih akan melakukan pendekatan dengan kelompok-kelompoknya masing-masing. Setelah itu bersama-sama merembukkan konsep penghentian konflik dan rehabilitasi di Ambon untuk di bawa dalam pertemuan kedua belah pihak di Malino.
·         10 Februari 2002
Menko Kesra HM Jussuf Kalla menyatakan konflik Ambon yang sudah berlangsung tiga tahun harus berhenti. Ia mengatakan tidak ada pilihan, perselisihan mesti usai dan Ambon harus damai. Jika tidak damai, masyarakat Maluku, khususnya di Ambon, akan menjadi paria, miskin dan terbelakang dari aspek apapun.*[15]
*Upaya seirus dan penting dari Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono dan Menko Kesra HM Jussuf Kalla ketika menggagas dan mendesain perjanjian Maluku di Malino.
C. KESIMPULAN
Dari uaraian di atas dapat terlihat, bahwa hubungan Islam dan Kristen di Ambon pada dasarnya sangat Harmonis. Sejarah menyatakan kalau Islam memang pertama yang menyentuh Pulau Maluku, baru menyusul pada masa VOC/Belanda di ikutkan penyebaran Kristen Katolik dan Protestan.
Pada tahun 1999 sangat membekas kengerian tragedi di Kota Ambon, sampai ke kampung-kampung menyoretkan luka di hati dan simpati terhadap fenomena ini. Kebanyakan orang tidak mengenali Ambon lebih dalam, yaitu keharmonisan hubungan antar agama yang cukup sulit didapati di daerah lain.
Tiap kali perayaan Natal oleh Kristen sangat jarang dan langkah mendengar kabar penyikapan yang buruk dari Islam kepada Kristen. Dan bahkan saling menghargai dengan ikut mengucapkan dan menebar senyuman saat hai-hari besar antar agama ini membudaya. Begitupun pada masyarakat muslim di Ambon yang mayoritas, mereka justru lebih menjunjung tinggi ukhuwah dibanding harus saling menjelek-jelekkan kepercayaan seperti kebanyakan dilakukan daerah lain.
Namun, sangat ironis ketika tiba-tiba Ambon meledak dengan pertikaian dan pembantaian berdarah yang merenggut puluhan bahkan ratusan jiwa yang tak ada hubungannya dengan faktor penyebab konflik. Warga sipil yang belum sempat mengasingkan diri dari lokasi pertikaian menjadi bulan-bulanan para fanatik golongan. Ada yang menganggap, penyebabnya karena umat Kristen yang lebih dulu menganiaya orang Islam dan ada juga yang mengatakan sebaliknya. Belum jelas, namun kronologisnya, begitulah yang terjadi.
Ratusan masyarakat muslim maupun kristen dikompori oleh isu yang tidak dapat diauki kebenarannya, membuat mereka dengan mudah berubah menjadi binatang yang tak berakal. Betapa tidak, nyawa manusia sudah tidak lagi menjadi sesuatu yang berharga dan darah mengalir seperti air yang muncrat dari pipa bocor.
Pihak Militer mengakui, sulitnya meredam pertikaian antara dua golongan ini yang dari zaman dulu selalu terjadi pelepasan pedang dan menghunus leher secara berkesinambungan akibat dari sentimen agama. Media pun memberitakan tragedi berdarah ini dengan bumbu yang berlebihan, sehingga merubah opini publik menjadi lebih interest daripada masyarakat asli Ambon sendiri. Ini mempengaruhi masyarakat dari luar Maluku berdatangan untuk membela nama baik dan martabat agama masing-masing dan ada juga lantaran ingin balas dendam karena keluarganya merupakan korban konflik.
          Namun, ada sebagian yang lain, boleh dikata para pakar sosiolog, menyatakan penyebab pemicu konflik ini bukan hanya karena sentimen agama. Namun ada faktor-faktor tertentu yang sudah lazim terjadi bukan hanya antar agama, tetapi, bahkan antar suku, daerah dan negara. Yaitu faktor dari sisoal-politik, ekonomi dan budaya serta kesenjangan sosial. Bahakan pemrintah pun disebut-sebut sebagai koordinator yang membuat skenario menghilir ke kejadian konflik dengan strategi yang cukup sulit dianalisa oleh publik. Suka atau tidak, konflik ini telah merobek-robek habis semua peradaban yang sangat tua di Indonesia, yaitu kerukunan beragama; yang kata orang di Maluku-lah tempatnya.
Beberapa bulan konflik berlanjut, jiwa melayang dan hanyut oleh siasat orang-orang pengecut. Menyedihkan dan melukiskan fenomena berukir dendam di atas batu yang sulit terhapus, sehingga menghantui pikiran dan terlahir presepsi-presepsi bahwa Islam dan Kristen di Ambon adalah musuh besar dan akan sulit di satukan kembali.
Peristiwa ini pun cukup besar membuat kesenjangan sosial yang telah lama di junjung tinggi masyarakat muslim dan kristen di Ambon. Kedua belah pihak akhirnya saling bertikai dan menumpahkan darah. Dari sejak tahun 1999 itulah kesenjangan ini mulai terjadi antara dua agama yang dulunya rukun dan harmonis.
Upaya pemerintah untuk perdamaian dan meredam konflik ini sangat strategis dan tepat. Akhirnya setelah sampai pada titik, mungkin keletihan, kebosanan atau apapun itu, pemerintah berhasil mewujudkan perdamaian dan perjanjian agar Maluku, Kota Ambon tetap menjunjung istilah ‘Pela Gandong’.
Untuk dapat mengatasi agar tidak terulang kembali kejadian memilukan ini, sejatinya suuatu golongan atau agama mengadopsi teori yang ke dua contextualist. Teori ini menjelaskan bahawa suatu golongan atau agama cenderung memahami kitab suci mereka atau adat mereka secara kontekstual (tafsir). Jika ini yang selalu di pahami dan diimplementasikan, maka Ambon tetap manise dan pela gandong selalu menjadi akar keharmonisan yang kuat (Bakti;2004:128).    






DAFTAR PUSTAKA
Bakti, Andi Faisal, communication and Family Planing In Islam In Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Develpment Program, Leiden-Jakarta: INIS, 2004.
Pieris, Jhon, Tragedi Maluku, Yayasan Obor Indonesia Jakarta 2004.
Departemen Agama RI, Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia, Bagian Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Jakarta 2003.
http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik, diakses pada 17 November 2011.
Pro. Dr. Azyumardi Azra, MA, Merajut Damai di Maluku, PT. Intermasa-Jakarta, 2000.







[1] Departemen Agama RI, Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia, (Bagian Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Jakarta 2003). Hal. 156
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik (diakses tanggal 17-11-2011)
[3] Jhon Pieris, Tragedi Maluku, (Yayasan Obor Indonesia Jakarta 2004). Hal. 171
[4] Jhon Pieris, Tragedi Maluku, (Yayasan Obor Indonesia Jakarta 2004). Hal. 1
[5] Jhon Pieris, Tragedi Maluku, (Yayasan Obor Indonesia Jakarta 2004). Hal. 110-113
[6] Departemen Agama RI, Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia, (Bagian Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Jakarta 2003). Hal. 171-174.
[8] Pro. Dr. Azyumardi Azra, MA, Merajut Damai di Maluku, (PT. Intermasa-Jakarta, 2000). Hal. 18-19.
[9]http://arrahmah.com/read/2011/09/28/15484-penyusup-kristen-rms-bikin-ulah-di-kampung-muslim-ambon.html?comments=1 (diakses pada tgl, 10-11-2011)


[10] http://groups.yahoo.com/group/HambaTuhan/message/636 (diakses pd tanggal 02 Januari 2012).
[11] Jhon Pieris, Tragedi Maluku, (Yayasan Obor Indonesia Jakarta 2004). Hal. 166: ‘Lihat Richard Chauvel, Natonalist, Soldier and Separatist: the Ambonese Island from Colonialism to Revolt 1880-1950 (Leiden: KITLV, Press, 1990)’.
[12] [12] Jhon Pieris, Tragedi Maluku, (Yayasan Obor Indonesia Jakarta 2004). Hal. 164-170.
[15] Jhon Pieris, Tragedi Maluku, (Yayasan Obor Indonesia Jakarta 2004). Hal. 295-300.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar