A.
PENDAHULUAN
Islam
sudah lama masuk ke Maluku, dibawa oleh pedagang-pedagang dan mubaligh-mubaligh
Islam yang ikut bersama-sama mereka. Ahli sejarah berbeda pendapat tentang
kapan tepatnya Islam masuk ke Maluku. Namun dapat dipastikan bahwa pada
pertengahan abad XV agama Islam sudah dianut dan berkembang pada
kerajaan-kerajaan di Maluku.[1]
Warga
Maluku telah lama menanam pelagandong
(saling sayang) antar Islam dan Kristen yang sudah cukup lama. Istilah pelagandong bukan hanya simbol tapi juga merupakan gerakan
yang disebut Gerakan Pemuda Pela Gnadong. Yang mana dalam gerakan itu terdapat
ikat tali kasih sayang antara Kristen dan Islam di Ambon hingga hubungannya
senantiasa harmonis juga Ambon tetap percaya diri dengan julukannya “Ambon
Manise”.
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere
yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah
satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya.
Tidak satu
masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan
kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan
hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut
diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat
istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri
individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam
setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang
tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu
sendiri.[2]
Ada isu yang
mengklaim bahwa Tragedi Ambon, Maluku, terjadi karena skenario Jakarta yang
dirancang oleh pihak yang haus kekuasaan, mempunyai niat busuk menciptakan
kekacauan nasional, agar pemerintah yang sah saat itu tidak lagi memiliki
legitimasi politik dan karena itu harus di tumbangkan.[3]
Konflik antar
warga yang terjadi di Maluku telah menyita perhatian banyak pihak, baik dari
dalam maupun luar negeri. Tidak dapat dipungkiri, muncul juga sikap-sikap
emosional-konfrontatif dari komunitas-komunitas yang bertikai. Tetapi, ada yang
mengambil sikap etis untuk menghadirkan pendekatan rasional-persuasif dalam
menyelasaikan konflik dan berupaya menganyam paradigma baru dari sebuah
perdamaian abadi.[4]
Pertanyaan
Mayor dan Minor
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka pertanyaan mayornya adalah
bagaimana pengaruh
konflik islam dan kristern di Ambon terhadap kerukunan tali kasih sayang (pelagandong)?
Pertanyaan minornya adalah apa saja faktor penyebab konflik agama tersebut?
Seperti apa hubungan Islam dan Kristen di Ambon? Sejauh mana upaya pemerintah
untuk meredam konflik berdarah tersebut?
Pernyataan Penelitian (menjawab
pertanyaan mayor)
Tragedi maluku bermula dari dari peristwa konflik biasa
(kriminal murni) antara dua orang yang kebetulan berbeda agama. Peristiwa
tersebut akhirnya menjadi pemicu konflik massal dan destruktif. Saling membakar,
membunuh menculik, menembak dan menjarah adalah pemandangan keseharian yang
tampak secara telanjang hampir di se-antero kota dan pulau Maluku pada saat
eskalasi konflik meningkat.
Pada minggu-minggu pertama konflik, telah berkembang
berita yang sangat beragam di media massa yang tidak didukung oleh fakta
sebenarnya. Ada media massa yang menyatakan bahwa yang melakukan pemalakan
adalah Yopi, pemuda Kristen, terhapa Usman, sopir beragam Islam. Ada juga media
massa yang memberitakan bahwa yang memalak Yopi adalah Usman, tentunya dengan
fakta-fakta yang diperoleh dari sumber media massa tersebut. Di kemudian hari
pun peristiwa yang telah menciptakan opini politik yang keliru dan memancing
sentimen agama ini ternyata tidak cepat diklarifikasi.
Peristiwa itu dengan cepat menjalar ke berbagai wilayah
di Maluku, kepulauan Sula, Haruku, Saparua, Seram, Maluku Tenggara, Buru,
Banda, dan hampir ke seluruh wilayah Maluku Utara. Harga satu kata yang
mendukung jumawa, “dendam”, lalu
dilanjutkan secara tidak terduga dengan aksi balas dendam secara proadis.
Sangat menyedihkan, traumatis, menyentuh, menjengkelkan, merugikan, mencekam,
mendebarkan, menegangkan dan menakutkan. Suka atau tidak, konflik ini telah
merobek-robek habis semua peradaban yang sangat tua di Indonesia, yaitu
kerukunan beragama; yang kata orang di Maluku-lah tempatnya.
Konflik berawal dari kriminal murni dan berperan sebagai
faktor pemicu yang sangat dirancang oleh konseptor dan konspirator. Dimulai
dengan pembakaran beberapa rumah milik warga beragam Kristen di antara Batu
Merah dan Mardika, persis pada tanggal 19 Januari 1999 bertepatan dengan hari
raya Idul Fitri 1419 H. Hari yang dipilih, entah oleh siapa orangnya, tapi yang
pasti tindakan tersebut telah berhasil memprovokasi massa. Bahkan anak muda
bahkan orang tua yang terlibat, namun mereka pasti tidak mengerti latar
belakang (causa prima) atau akar
persoalan yang sebenarnya. Mereka hanya terprovokasi, terbakar emosinya, lalu
memotong membakar, menjarah dan membunuh. Mereka hanya balas dendam, karena
keluarganya menjadi korban konflik.
Konflik terbuka berskala massal dengan penggunaan
kekerasan bukanlah peristiwa yang bisa serta merta terjadi. Mesti ada tahapan
atau fase-fase yang dilalui. Konflik seperti itu hanya bisa terjadi kalau ada
prakondisi yang memungkinkan dan mencukup bagi terjadinya konflik terbuka. [5]
·
Menjelang Peristiwa Kerusuhan
Kerusuhan Ambon yang berkobar
sejak 19-1-1999, sesungguhnya telah didahului oleh beberapa peristiwa yang
mengarah kepada konflik antar kelompok yang bernuansa SARA. Beberapa peristiwa
tersebut seperti yang dikemukanan oleh
S. Sinansari Ecip a.l. adalah di Wailete, Air Bak, dan Dobo.
Dimulai penyerangan Wailete
tanggal 13-12-1998. Peristiwa di Air Bak tanggal27-12-1998, di Dobo (mayoritas
Kristen), Tanimbar, dan Maluku Tenggara terjadi kerusuhan tanggal 14-1-1999.
Dusun Wailete (Muslim Buton)
diserang, dilempari batu dan rumah-rumahnya dibakar, oleh massa desa Hative
Besar (Kristen). Penduduk mengungsi, mereka tidak mengetahui apa sebabnya
mereka diserang. Keadaan dapat diatasi oleh Polisi Brimob, tetapi persoalannya
tidak diselesaikan.
Warga Muslim Air Bak diserang,
dilempari batu. Alasan warga Kristen menyerang karena ada babi yang diusir dari
kebun milik warga Muslim. Penyelesaiannya tidak jelas, malah warga Muslim yang
ditahan Polisi.
Sebelumnya terjadi perlawanan
mahasiswa Kristen terhadap aparat keamanan tanggal 8 November 1998, mahasiswa
Kristen Unpatti dan UKIM (Universitas Kristen Indonesia Maluku) mendemo Korem
174 Patimura di Ambon. Mereka menghujat Dan Rem Kolonel Hikayat (Islam).
Demonstrasi berlangsung dua hari, mereka membakar beberapa mobil petugas
keamanan, melukai tukang becak, dan merusak serta melempari kaca kantor PLN
Ambon. Ada korban luka-luka di pihak mahasiswa 70 orang dan TNI 25 orang.
·
Kerusuhan Ambon Maluku
Pada Hari Raya umat Islam Idul
Fitri tanggal 19-1-1999 terjadi kerusuhan besar di Ambon. Pemicu kerusuhan
berasal dari pertikaian antara sopir angkot Yopi dan kenek Salim di terminal
Batumerah. Konflik antar anak muda di daerah ini sudah biasa terjadi, namun
tidak pernah membesar dan melibatkan banyak warga.
Sekonyong-konyong di beberapa
tempat di kota Ambon telah terkonsentrasi massa yang besar. Konsesntrasi massa
yang mencapai 5-6 ribu orang tersebut sampai sekarang belum jelas siapa
penggeraknya. Kemudian terjadi pengusiran, penjarahan, pembakaran rumah
orang-orang Islam, terutama yang berasal dari luar Ambon di daerah-daerah yang
mayoritas dihuni oleh umat Kristen. Rumah-rumah orang Islam di sekitar Batu
Merah dibakar oleh orang-orang Kristen.
Terjadi pengungsian di Masjid
al Fatah dan Masjid Jami’, keduanya di Jl. Sultan Babullah. Orang-orang Islam
lalu berjaga disekitar masjid.
Peristiwa penyerangan hari-hari
pertama kerusuhan tampaknya hanya berasal dari satu pihak Kristen ke pihak
Islam. Namun menurut pihak Kristen, mereka diserang lebih dahulu oleh pihak
Islam. Antara kelompok Islam dan Kristen saling menuduh, pihak lain yang
memulai dan merencanakan kerusuhan Ambon.
Kelompok Kristen tanggal
27-1-1999 mengeluarkan pernyataan, antara lain bahwa kerusuhan tanggal 19-24
Januari 1999 di beberapa tempat dalam waktu yang hampir bersamaan terkesan
diorganisasi dengan rapi. Kelompok Kristen juga membantah keterlibatan Republik
Maluku Selatan (RMS) dan menolak RMS identik dengan Kristen. Pernyataan
tersebut disampaikan oleh tokoh-tokoh Kristen yang mengatasnamakan umat Kristen
di Maluku ialah: Pdt. M.M Siahaya, S.Th. (Sekum BPH Sinode GPM) Mgr. PC
Mandagi, Msc. (Uskup Diosis Amboina), Jurjen Soenpiet (a.n. Sinode GMH
Perwakilan Ambon), dan Pdt. S.P. Titaley, S.Th. (PGI Wilayah Maluku).[6]
B.
BODY/ISI
1.
Teori
Teori yang digunakan untuk makalah ini adalah textualist. Ini menjelaskan bahwa suatu
agama cenderung memaknai kitab suci dengan kalimat yang ada (teksnya). Alasan
mengapa mengambil teroi ini adalah karena berdasarkan realita lapangan,
sesungguhnya kebanyakan umat Islam tidak memaknai penjelasan atau tafsir al Qur’an
secara kontekstual (Bakti;2004;128).
Lawan dari Teori ini adalah Contextualist. Ini menerangkan bahwa suatu agama cenderung memaknai
suatu budaya atau kitab suci berdasarkan konteksnya atau (tafsir). Beberapa
orang-orang Islam yang etis memaknai kitab suci mereka dengan bijak dan
refrentif.
Penulis mengangkat teori ini sebagai pendukung
untuk menerangkan sebab-musabab konflik agama di Ambon. Kita ketahui, pengaruh
dari wawasan dan cara pandang kita terhadap sesuatau seperti kitab suci dan
agama cenderung berdampak kontradiktif dan kontrovertif. Bahkan sampai ke
tingkat saling membenci, mencaci, mengolotkan dan konflik.
Di atas, adalah salah satu contoh memahami
alqur’an secara kontekstual yang terkesan lebih bijaksana dan sangat relevan
dengan penghidupan. Namun demikian, kefatalan akan memaknai kitab suci secara
tekstual juga bukan sedikit yang masih menggunakannya. Dan ini akan menimbulkan
dampak yang besar dan melahirkan jiwa-jiwa jihad tanpa memerhatikan makna
hakiki dari pacuan (seruan) api juangnya.
Dalam
menggali ataupun memahami ayat-ayat Al Qur’an diperlukan perangkat-perangkat
dan instrumen keilmuan yang lain, seperti Ilmu Nahwu, Sharaf (Bahasa Arab),
Fiqh, Ushul Fiqh, Ulumul Qur’an, Sosiologi, Antropologi dan budaya
guna mewujudkan AL Qur’an sebagai pedoman dan pegangan umat Islam yang
berlaku sepanjang zaman. Memang memahami ayat-ayat Al Quran dengan benar
tidaklah mudah, sejarah mencatat, terdapat beberapa kosa kata pada ayat AL
Qur’an yang tidak difahami oleh sebagian sahabat nabi dan sahabat langsung
menanyakan hal tersebut kepada Nabi, namun untuk masa kita saat ini akan
bertanya kepada siapa tatkala kita menemukan beberapa ayat yang sulit untuk
difahami. Belum lagi ayat-ayat mutasyabihat yang masih banyak
mengandung misteri dari maksud ayat tersebut secara tertulis.
Oleh
karenanya, dalam memahami Al Qur’an diperlukan metode dan pendekatan-pendekatan
untuk menafsirkan al Qur’an, agar Al Qur’an dapat memberikan jawaban yang pas
dan sesuai dengan sekian banyak persoalan yang berkembang di masyarakat.
Jawaban yang sesuai dan pas dengan apa yang dibutuhkan dan dirasakan masyarakat
pada saat ini sangat berarti dan berdampak positif bagi Islam yang dikenal
sebagai Agama yang rahmatan lil ’alamin.[7]
Berkaitan
dengan konflik di Ambon, maka perlunya masyarakat mengetahui, sejarah
perkembangan dan peradaban Islam dan Kristen di daerah tersebut.
Islam
memang agama pertama yang menyentuh Maluku. Islam dibawa oleh para pedagang
Aceh, Malaka, dan Gresik antara 1300-1400. Islam menyebar ke Ternate, Ambon,
Kepulauan Banda, Tual, Kepulauan Tanimbar, pulau Bacan, pulau Obi, dan Seram.
Penyebaran Kristen Katolik (1523-1546) dan Protestan (1605) pun juga berlanjut
di Maluku. Agama ini di sebarkan VOC/Belanda.[8]
Islam
dan Kristen akhirnya menyatuh dan saling menghargai antara kepercayaan agama
masing-masing. Ini berjalan hingga bertahun-tahun sebelum adanya konflik.
Bahkan kita mengenal di Ambon ada namanya Gerakan Pemuda Pela Gandong,
komunitas Islam-Kristen.
2.
Metodologi
Yang
menjadi kritik dan masukan untuk suatu agama akan kitab sucinya adalah, agar
memahaminya secara kontekstual dan menghubungkannya dengan peradaban serta
perkembangan zaman. Ambon, Maluku, menjadi sorotan masyarakat nusantara yang
menggejolak konflik berdarahnya. Manusia terlihat sudah tak berharga dan
menyerupai bangkai binatang yang menakutkan. Wanita dan anak kecil sudah tak
bisa lagi memertahankan dirinya sebagai sosok yang dicintai dan disayangi. Dan
mala menjadi sasaran sejenisnya untuk di lecehkan dan dicincang-cincang bak
daging yang hendak di jual ke pasar.
“tau nggak dan saya tergabung di Pemuda Pela-Gandong Maluku, jadi
tiap ada info atau isu kita salaku Pemuda asli maluku baik itu Muslim atau Nasrani
akan langsung turun pantau, jika itu orang luar yang bikin kaco siap kami
tendang keluar...jika ada yang mengusik Ambon. Apa lagi orang luar, biar
Nasrani atau Sodara Muslim sendiri akan saya habisi. Bagemana jika rumah kamu
di rusak dan di usik orang Muslim sendiri kamu terima nggak? dan di taman
makmur Air Salobar tidak ada kejadian apa-apa hanya Pemuda muslim Pohon
Mangga/Taman Makmur memang menangkap orang luar Ambon dari Jawa dan Sulawesi
yang akan bikin kaco di Ambon. Ok kalo kamu tidak tahu tentang Ambon jangan
ikut campur! Bagemana jika Pulau Jawa di usik oleh para pendatang dari luar
Jawa, apa yang akan kamu lakukan? Otak itu pake! dan perlu kamu camkan Islam
tidak membenar kan kekerasan, apa Kamu suci dan kelompok kamu itu benar
sedunia? Selama ini sebelum kelompok kalian muncul di Ambon hidup itu sungguh
harmonis dan ketika kelompok kalian muncul dan masuk di Ambon naaahhh itu
kerusuhan besar besar an dan kalian juga membantai keluarga saya pada hal kita
sama Muslim...Anjing biadap kalian”.[9]
Komentar Rizky di atas
menunjukkan bahwa, sebagian masyarakat Ambon sangat menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaran berbeda agama. Hubungan Islam dan Kristen sangat
dijaga keharmonisannya lewat gerakan ini. Hingga hal-hal yang mengundang
konflik dengan cepat mereka redahkan namun pemicu lain yang di luar
dugaan dengan pesat dan cepat mempengaruhi
sehingga konflik berkelanjutan.
Oleh karena itu
memang perlunya memahami Islam bukan sekedar dari teksnya saja akan tetapi
secara kontekstual itu lebih penting serta memperhatikan dan menghubungkan dengan
keberagaman agama dan peradabannya. Jika kembali kepada Qur’an, sesungguhnya
agama-agama yang ada di dunia ini adalah dari Allah SWT. Dan jelas termaktub
dalan kitab suci. Nabi Muhammad saw pun mengakui ini sebagai keragaman yang
wajib kita hargai agar harmonis. Lihat dalam Q.S Al-hujurat;13.
Seperti yang di kutip dalam sebuah situs dibawah
ini:
Bismillahirrahmaanirrahiim
Memahami Al Qur'an Secara Kontekstual
Saat ibu tercinta kembali kepada Allah pada hari senin minggu ke dua bulan September 2006, saya dipertemukan dengan saudara ibu saya yang menurut orang lain berakidah Qurany. Ada pelajaran yang ingin saya bagi dengan teman2 di milis ini, dari obrolan yang singkat disela-sela waktu lawatan terakhirnya mengantar jenazah ibunda tercinta.
Menurut beliau, terjadinya ekspansi militer yahudi ke negara-negara Arab,
janganlah dipandang secara "genetik" dilakukan oleh orang-orang
Israel yang notabene berlebel "Yahudi".
Secara eksplisit al Qur'an membahasakannya dengan banny israil. Yang jika diterjemahkan secara "tekstual" akan memiliki tendensi genetik yaitu anak keturunan Israil.
Secara eksplisit al Qur'an membahasakannya dengan banny israil. Yang jika diterjemahkan secara "tekstual" akan memiliki tendensi genetik yaitu anak keturunan Israil.
Padahal, lanjut beliau, bahwa konsep Al Qur'an tentang sejarah itu tidak
harus difahami secara leter-lek, seperti kasus israil ini. Al Qur'an lebih jauh
menjangkau makna idiologi dan pola pikir, bukan hanya evidensi historis.
Karenanya term Namrud, Fir'aun, Qorun, Hamman, dan Israil sebenarnya tidak
hanya ditujukan pada person-person yang mewarisi gen nenek moyangnya. Ia lebih
ditujukan kepada seluruh manusia agar idiologi, keyakinan dan paradigma dari
term-term tersebut tidak sampai meracuni seluruh manusia yang menerima Al
Qur'an.
Karena jika hanya terpaku pada sejarah, ya tinggal sejarah dan tidak aktual
lagi pada masa sekarang ini. Padahal Al Quran harus diaktualisasikan oleh
pengikutnya sepanjang zaman hingga hari kiamah tiba.
Dengan demikian, fir'aun, Namrud, Hamman, Qorun dll termasuk israil
itu sebenarnya masih ada di antara kita. Dan jangan-jangan kita sendiri
merupakan fir'aun baru, hamman baru, Qorun baru dsb. karena kita mungkin secara
tanpa sadar masih menganut dan mewarisi karakter2 negatif yang tidak
dikehendaki Tuhan sebagaimana Tuhan telah menjelaskannya melalui
icon2 sejarah yang dicantumkannya.
Demikian oleh-oleh kecil saat saya berada di kampung halaman. mudah-mudahan
bermanfaat.
Allahu A'lamu wa nahnu laa na'lamu bish showaab
Allahu A'lamu wa nahnu laa na'lamu bish showaab
Salam
Abu Wava EIQ.[10]
Abu Wava EIQ.[10]
3. Analisis
Bermuara dari pertanyaan
minor di atas, maka hal ini akan sangat lekat hubungannya dengan upaya menjawab
pertanyaan pengaruh
konflik islam dan kristern di ambon terhadap kerukunan tali kasih sayang (pelagandong).
Hal ini sangat urgen di ungkap agar mendapatkan titik terang dan benang merah
terhadap peristiwa yang terjadi. Juga agar membuka kedok pemicu dari konlfik
agama tersebut. Begitu juga upaya yang di lakukan pemerintah dan warga Maluku
sendiri dalam meredam konflik tersebut. Jadi, perlu adanya penjelasan mengenai
problematika ini.
a.
Faktor-faktor yang Melatarbelakangi
Konflik Agama di Maluku
Suatu kajian yang
diselenggarakan oleh LIPI bekerjasama dengan Kantor Menteri Negara Riset dan
Teknologi RI yang berlangsung tanggal 13 Maret 2000 telah mengulas hasil
identifikasi akar masalah kerusuhan Maluku dan Maluku Utara. Faktor sejarah,
kesenjangan sosial ekonomi, masalah agama, birokrasi, budaya, politik dan
militer diulas secara garis besar.
·
Faktor sejarah
Jauh sebelum para penjajah
Eropa, Portugis kemudian Spanyol, Belanda dan Inggris tiba di kepulauan Maluku,
di Maluku Utara telah berdiri dengan kokoh empat kerajaan Islam, yaitu Kerajaan
Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Pada saat itu kerajaan Ternate adalah yang
paling berpengaruh khususnya dalam ‘mengIslamkan’ sebagian pulau Seram. Daerah
Gorontalo (Sulawesi Utara) dan Filipina Selatan). Pengaruh bersar itu hanya
menyisakan Maluku Selatan dan pendalaman Halmahera saja sebagai daerah yang
masih terbuka bagi Belanda untuk menyebarkan misi Kristen Protestan.
Sebagai seorang sosiolog. Dr.
Thamrin Amal Tomagola, pernah menjelaskan mengenai peran Belanda dalam
menjalankan siasat devide et impera
di Maluku Selatan. Lewat sistem pendidikan yang diskriminatif, Belanda lebih
banyak memberi kesempatan pendidikan kepada warga Kristen Protestan
dibandingkan kepada warga muslim. Orang Ambon Kristen yang berpendidikan
tersebut diberi kemudahan untuk bekerja di birokrasi kolonial Belanda, bahkan
yang kurang berpendidikan pun banyak yang bergabung sebagai anggota tentara
kolonial Belanda (KNIL). Siasat Belanda yang perlahan menahun ini pada akhirnya
mewujudkan segregasi sosial berbasis agama, bahkan hingga ketingkat satuan
wilayah yang kecil (negeri-negeri). Pola-pola diskriminatif ini menanamkan
benih konflik yang dapat meledak sewaktu-waktu.[11]
·
Faktor Kesenjangan sosial-ekonomi
Kebanyakan warga Islam mempunyai
status sosial ekonomi lebih rendah dibandingkan warga Kristen Protestan. Di
samping itu, orang-orang Kristen umunya tinggal di pemukiman pusat-pusat
wilayah, sedangkan orang Islam kebanyakan tinggal diwilayah pinggiran.
Berkembang stereotype bahwa orang
Ambon Kristen adalah bermental ambtenaar
(anti pekerjaan ‘kasar’), sementara warga Islam tipe pekerja keras; orang
Kristen menguasai sektor pemerintahan dan pendidikan di Ambon, sedangkan
sedikit orang Islam menguasai sektor perekonomian menengah ke bawah.
Komunitas Kristen yang
dicitrakan sebagai ‘kelas atas’ tersebut, belakangan ini cenderung mengalami
pergeseran, antara lain karena faktor peningkatan kuantitas dan kualitas umat
Islam dan pengaruh yang ditimbulkannya di Maluku. Salah satu faktor penyebab
perubahan itu lainnya adalah pertumbuhan penduduk Ambon akibat gelombang
Migrasi masuk oleh kaum pendatang (mayoritas Islam) terutama dari Bugis, Buton,
Makassar, serta Jawa (Transmigran). Mereka sangat gigih dan berhasil menguasai
hampir seluruh sektor ekonomi, dan kemudian semakin banyak yang masuk
birokrasi. Faktor lainnya adalah “berkah” dari pembangunan masa orde baru. Oleh
keran itu kemudian Islam dilihat sebagai ancaman.
Namun ada pula ketidakpuasan
bersama yang dirasakan oleh sebagian warga Kristen dan juga sebagian warga
Islam, yakni semakin terpuruknya kondisi ekonomi mereka. Monopoli cengkeh oleh
BPPC, terhadap komoditas yang selama ini menjadi sumber kehidupan utama orang
Maluku (teruatama MalukuTengah), menyebabkan ambruknya salah satu fondasi
perekonomian. Yang membuat masyarakat Maluku menjadi miskin.
Ini juga menemukan sebuah
gelaja sosial lain, yaitu bahwa komunitas Islam di Ambon (baik penduduk asli
maupun pendatang) merupakan pihak relatif banyak diuntungkan dari hasil
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan (termasuk pembangunan di bidang pendidikan)
di Maluku pada era 1970-80an. Mereka tidak saja menguasai sektor-sektor
perekonomian sebagaimana diterangkan sebelumnya, namun juga pelan-pelan
menguasai sektor pemerintahan. Dua Gubernur Maluku di era 1990an dijabat oleh
orang Ambon beraga Islam. Dalam masyarakat, sejalan dengan menguatnya pengaruh
ICMI, kedua pejabat tersebut di isukan melakukan distribusi kekuasaan yang
tidak didasarkan atas kompetensi namun dipengaruhi oleh faktor agama.
·
Faktor sosial-politik
Lokakarya LIPI juga
mengkonstatir bahwa didirikannya organisasi ICMI cabang Ambon pada paruh
pertama tahun 1990 semakin menambah ancaman terhadap komunitas (politik)
Kristen. Bahkan salah seorang pakar ilmu sosial menduga bahwa kartu keanggotaan
ICMI menjadi semacam ‘SIM’ bagi rekruitmen jabatan-jabatan penting pada
birokrasi pemerintahan di Maluku. Hal ini melanggar semacam kesepakatan tak
tertulis yang telah berlangsung puluhan tahun (antara warga Islam dan Kristen)
mengenai “pertimbangan kekuasaan” dalam pengisian jabatan-jabatan teras di
Maluku. Misalnya, apabila Gubernurnya seorang Kristen, maka sekretaris
daerahnya seorang Muslim. ‘Kesepakatan’ semacam ini belakangan ini tampaknya
kurang diperhatikan lagi oleh sejumlah birokrat muslim. Hal tersebut telah
menambah kekecewaan kelompok Kristen. Namun di pihak lain juga ada
ketidakpuasan di kalangan Islam yang merasakan dominasi Kristen yang begitu
kuat di UNPATTI. Konflik laten untuk memperebutkan strategic resources semacam ini telah berjalan cukup lama.
Faktor lain yang memperlemah
adat di Maluku adalah terjadinya birokratisasi pemerintahan desa melalui UU No
5/79 tentang pokok-pokok pemerintahan desa. Dengan UU ini sistim pemerintahan
adat pada desa-desa di Maluku dan peran elit tradisional lokal (raja-raja dan
saniri negeri di negeri-negeri di Ambon/Maluku Tengah), digantikan oleh Kepala
Desa dan Lembaga Musyawarah Desa.
·
Faktor kependudukan
Dampak negatif dari pesatnya
pertumbuhan penduduk kota Ambon yang melahirkan pemukiman yang sangat padat,
tingginya tingkat pengangguran, terbatasnya kesempatan kerja dan pendidikan,
cenderung tidak mampu lagi diatasi oleh kepemimpinan tradisional (adat) yang
telah hancur.
Faktor-faktor ini, di tambah dengan berbagai ketidak
puasan lain, membuahkan rasa frustasi yang tinggi dalam masyarakat. Kondisi ini
menjadi eksplosif ketika ada faktor-faktor lain, yang membuat kekerasan menjadi
eksklusif di Ambon.[12]
b.
Hubungan Islam dan Kristen di Ambon di luar konflik
Abdullah dan
jutaan penduduk Maluku memang layak prihatin. Boleh jadi mereka setengah tak
percaya, karena negeri kepulauan yang semula termasyhur sangat rukun dalam
tradisi pela gandong, tiba-tiba terkoyak-koyak menjadi arena
saling bunuh seperti di Bosnia. Dan seperti mimpi rasanya, tetangga yang dulu
begitu ramah, saling bantu-membantu, tiba-tiba menjadi seperti tentara Serbia
yang dengan sadis membantai keluarga mereka.
Mitos
selama ini, hubungan ummat Islam dan Kristen di Maluku adalah yang paling harmonis
sedunia. Konon dengan tradisi pela gandong, ketika ummat Islam
membangun masjid, ummat Kristen turut serta bergotong-royong. Begitu pula saat
ummat Kristen membangun gereja, ummat Islam tak segan-segan menyingsingkan baju
membantunya. Sebuah situasi harmonis seperti di Desa Sukamaju, tempat tinggal
`almarhum' si Unyil yang dicita-citakan penguasa Orde Baru.
Kini semua
itu tinggal kenangan, disertai rasa tanda tanya besar, mengapa api permusuhan
antara ummat Islam dan Kristen masih tersisa hingga ke abad ini? Bagaimana
sejarah mulainya dan apa pula solusinya?
Nabi dan Ahlul Kitab• Sejarah
interaksi antara Islam-Kristen telah terjadi sejak pertama risalah Islam turun
ke bumi empat belas abad lalu. Dalam riwayat disebutkan, ketika Rasulullah saw
sedang gamang dan gelisah setelah dijumpai pertama kali oleh malaikat Jibril
as, sang istri Khadijah ra mengajaknya pergi menemui saudara sepupunya Waraqah
ibnu Naufal yang menjadi rahib Nasrani, untuk meminta penjelasan apa yang
sebenarnya sedang terjadi.
Waraqah
inilah yang pertama kali memberitahu bahwa kedatangan Jibril menunjukkan
Muhammad telah diangkat sebagai Nabi, berdasar keterangan Injil yang
dipelajarinya. Lalu Waraqah berjanji, sekiranya ia masih hidup, ia akan menjadi
salah seorang pembelanya saat Muhammad saw diusir oleh kaumnya.
Muhammad
saw, sebelum menjadi Rasul sudah mendapat julukan Al Amin
lantaran sifatnya yang mulia dan sangat dipercaya. Sifatnya yang santun
menjadikan ia berhubungan baik dengan siapapun; dengan keluarga, sahabat dan musuh
dakwahnya sekalipun.
Dalam hal
interaksi dengan kelompok ahlul kitab, ulama besar Syaikh Dr Yusuf Qardhawi
dalam Hadyul Islam Fatwai Mu'ashirah (Fatwa Kontemporer)
menjelaskan betapa toleransi tampak jelas dalam pergaulan Rasulullah terhadap
ahlul kitab, baik Yahudi maupun Nasrani. “Beliau mengunjungi mereka dan
menghormati mereka, menjenguk mereka yang sakit, menerima dan memberi sesuatu
kepada mereka.”
Sebelum
orang di zaman kini biasa berdialog antar agama, Nabi Muhammad sudah mendahului
sejak dulu. Seperti dicatat oleh Ibnu Ishaq dalam As-Shirah, para
utusan dari negeri Najran yang beragama Nasrani ketika menghadap beliau di
Madinah, mereka menemuinya di masjid setelah waktu ashar. Tatkala tiba waktu
shalat, mereka lantas hendak shalat di masjid beliau. Sehingga orang-orang
hendak mencegahnya, tetapi Rasulullah bersabda, “Biarkanlah mereka.” Lantas
mereka menghadap ke timur dan melakukan sembahyang mereka.
Jadi,
berbeda dengan kondisi di masa kini saat kaum Muslim menerima derma dari non
Muslim, Rasulullah memberi contoh seharusnya orang Muslimlah yang berderma
kepada sesama Muslim dan orang non Muslim.
Khusus
dengan kaum Kristen, sejak masih di Makkah kaum Muslimin sudah menunjukkan
kedekatannya dengan memberikan dukungan kepada pasukan Romawi yang Kristen
ketika mereka berperang dengan pasukan Persia yang beragama Majusi (penyembah
api). Bahkan mereka turut bersedih ketika mendengar dalam satu pertempuran
pasukan Romawi kalah, sebagaimana diabadikan oleh Allah dalam al-Quran Surat
Ar-Rum.
Solidaritas
orang Kristen kepada kaum Muslimin pernah terjalin dengan baik di zaman itu
ketika sebagian sahabat diperintah oleh Nabi untuk hijrah ke negeri Habsyi yang
penduduk dan rajanya beragama Kristen. Di negeri itu sang Raja Negus memberikan
suaka kepada kaum Muslimin yang dikejar pasukan penguasa Makkah. Raja Negus
sangat terkesan dengan ayat-ayat al-Quran yang memuliakan Nabi Isa as dan
ibunya.
Begitu
pula dengan kaum Yahudi. Sebelum kaum Yahudi mengkhianati perjanjian, hubungan
antara Nabi dan para sahabatnya dengan komunitas Yahudi di Madinah berjalan
baik. Seperti sering diceritakan orang, di Madinah ada seorang Yahudi sering
mengganggu Nabi jika beliau lewat di muka rumahnya. Suatu hari ia absen karena
sakit. Mendengar itu Nabi menjenguknya. Si Yahudi itu demikian terkejut dan
terharu, tak menyangka dijenguk orang yang sering diganggunya. Hingga akhirnya
ia masuk Islam.[13]
Ambon
(ANTARA News) - Para pimpinan Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) menyatakan
optimistis bahwa pelaksanaan perayaan Natal 25 Desember 2011 dan Tahun Baru
2012 di provinsi Maluku akan berlangsung aman dan damai tanpa diwarnai aksi
teror.
"Berkaca
pada kebersamaan dan persaudaraan yang semakin tercipta antarwarga di Maluku,
maka perayaan Natal dan Tahun Baru di Ambon dan seluruh wilayah Maluku akan
berlangsung aman dan damai," kata Ketua Badan Pekerja Harian (BPH) Sinode
GPM, John Ruhulessin, di Ambon, Sabtu malam.
Ruhulessin
mengakui, koordinasi internal maupun eksternal dengan dengan pimpinan
organisasi keagamaan lainnya termasuk tokoh masyarakat dan pemuda sudah
dilakukan guna lebih mempererat hubungan persaudaraan antarumat beragama di
Maluku.
Apalagi
sesuai tradisi umat Muslim akan turut bersama aparat kepolisian dan TNI menjaga
dan mengamankan jalannya ibadah persiapan Natal di setiap Gereja yang akan
mulai berlangsung Sabtu sore, sama seperti saat umat Muslim menjalankan ibadah
puasa dan merayakan Idul Fitri 1432 Hijriah.
"Keterlibatan
umat Muslim dan Kristen untuk bersama-sama menjaga dan mengamankan perayaan
hari besar keagamaan masing-masing, merupakan wujud jalinan keharmonisan
antarumat beragama di daerah ini yang terbingkai dalam budaya leluhur
Pela-Gandong," katanya.
"Ini
menandakan hubungan persaudaraan antarwarga Salam (Muslim-red) - Sarani
(Kristen-red) di Maluku telah harmonis kembali, di mana menjadi perekat untuk
menangkal berbagai upaya untuk memecah bela persaudaraan dan persatuan
masyarakat di daerah ini," ujarnya.
Sedangkan
Ketua Panitia Hari Besar Islam (PHBI) Maluku, Husein Toisutta meminta Umat Kristiani
di Ambon dan Maluku untuk tidak terpengaruh berbagai isu maupun provokasi yang
sengaja dihembuskan jelang perayaan Natal 25 Desember 2011 dan Tahun Baru 1
Januari 2012.
"Jangan
mempercayai berbagai isu negatif maupun provokasi yang sengaja dihembuskan
pihak-pihak tidak bertanggung jawab dengan sasaran menghancurkan tatanan umat
beragama di daerah ini," kata Husein Toisuta.
Dia
menegaskan, seluruh komponen umat Muslim di daerah itu juga akan bekerja sama
untuk mengamankan perayaan Natal dan Tahun Baru sehingga berjalan aman dan
lancar, serta berdampak terhadap peningkatan hubungan silaturahim serta
persaudaraan antarumat beragama.
Menurutnya,
umat Muslim juga telah berkomitmen untuk turut terlibat bersama aparat
TNI/Polri melakukan pengamanan jalannya ibadah persiapan Natal yang akan
dilakukan umat Kristiani pada 24 Desember, sama seperti yang dilakukan umat
Kristiani saat ibadah Puasa dan Idul Fitri 1432 Hijriah.
"Umat
Muslim akan terlibat bersama aparat keamanan melakukan pengamanan sehingga
terjamin suasana kondusif yang telah sama - sama kita bina selama ini dan
perayaan Natal dapat berlangsung dalam suasana suka cita, aman dan damai,"
katanya.[14]
c.
Upaya Pemerintah dalam Meredam Konflik
Upaya perdamaian:
·
9 Maret 1999
Tim khusus ABRI bertatap muka
dengan tim rekonsiliasi dan dicapai kesepakatan bahwa menciptakan rasa aman
merupakan proses awal menuju perdamaian. Juru bicara tim khusus ABRI, Laksamana
Pertama Isaak Latuconsina menyatakan, keyakinannya bahwa rasa aman itu akan
bisa di wujudkan dalam waktu dekat. Sebab, tim ini didukung oleh personal TNI
dalam jumlah besar.
·
8 April 1999
Sebanyak 18 orang asal
Kabupaten Maluku Tenggara yang tinggal di Ambon dan Jakarta di berangkatkan ke
lokasi kerusuhan. Tim kemanusiaan ini merupakan anggota keluarga yang bertikai
dan diharapkan dapat mengawali perdamaian antar warga setempat. Selanjutnya
akan diturunkan tim berikutnya yang berusaha menyelesaikan masalah itu dengan
menggunakan hukum adat “Larwul Ngabal” hingga kehidupan masyarakat bisa kembali
seperti semula.
·
12 Mei 1999
Pimpinan umat beragama, tokoh
masyarakat dan adat, tokoh pemuda serta pimpinan paguyuban menandatangani ikrar
perdamaian di lapangan merdeka, Ambon, Maluku. Mereka sepakat mengakhiri
tragedi kemanusiaan yang telah menghancurkan dan memporakporan-dakan
sendi-sendi kehidupan beragama, bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Dalam
ikrar perdamaian disebutkan bahwa mereka sungguh menyesali semua pengalaman
pahit yang memilukan. Mereka juga bertekad membangun kembali hubungan
kemanusiaan baru yang didasari rasa cinta sesama, saling menghargai dan
menghormati dengan menjunjung nila-nilai kemanusiaan, kekeluargaan dan
persaudaraan.
·
3 Desember 1999
Kepala POLRI Jendral (Pol)
Roesmanhadi bertemu sekitar 60 tokoh masyarakat Ambon yang tinggal di Jakarta.
Pertemuan itu menghasilkan rencana membentuk satuan tugas (Satgas) perdamaian Ambon
yang akan dikirim ke Ambon dalam waktu dekat.
·
25 Januari 2000
Wakil Presiden Megawati
Soekarno Putri dalam kunjungannya ke Kota Ambon mengemukakan pemerintah tetap akan bertanggungjawab atas
segala peristiwa pertikaian yang terus berkepanjangan di Kepulauan Maluku.
·
22 Februari 2000
Mantan Perdana Mneteri Belanda
Ruud Lubbers memimpin pertemuan rekonsiliasi Maluku, yang dihadiri oleh
perwakilan dari kelompok Muslim, Gereja Katolik, Gereja Protestan Maluku, serta
Komunitas Ambon di Belanda. Pertemuan itu dilangsungkandi Clingedael Institute,
sebuah Lembaga Kajian Kementrian Luar Negeri Belanda.
·
24 April 2000
Sedikitnya 900 orang, yang
terdiri dari elit lokal, pemuka agama, dan tokoh masayarakat, melakukan rujuk
sosial di atas kapal perang KRI Multatuli dan KRI Arun milik TNI AL, di Maluku.
Rujuk sosial ini diharapkan dapat mengembalikan tatanan sosial, budaya,
politik, ekonomi, maupun keagamaan di Maluku yang porak-poranda akibat
pertikaian kedua kelompok,
·
26 Juni 2000
Persiden Abdurrahman Wahid memberlakukan
keadaan darurat sipil di Provinsi Maluku dan Maluku Utara, muali 27 Juni 2000,
pukul 00.00 WIT pemerintah berharap keadaan darurat sipil bisa dengan cepat
dicabut kembali jika keadaan di kedua provinsi itu normal kembali.
·
8 Desember 2000
Sejumlah 80 tokoh masyarakat
muslim dan kristen di Maluku yang terdiri dari unsur pemuka agama, tokoh adat,
tokoh pemuda, pimpinan perang, dan aktifis organisasi nonpemerintah bertemu di
Yogyakarta untuk menjajaki rujuk sosial di wilayah yang di landa konflik berdarah
dalam dua tahun terakhir.
·
31 Januari 2002
Untuk benar-benar menghentikan
Konflik yang terjadi di Ambon, sosialisasi terhadap dua kelompok yang terlibat
langsung dalam pertikaian masih diperlukan. Oleh karena itu, delegasi dari dua
kelompok yang bertikai melakukan pertemuan tertutup dengan fasilitator di
Makassar itu, masih akan melakukan pendekatan dengan kelompok-kelompoknya
masing-masing. Setelah itu bersama-sama merembukkan konsep penghentian konflik
dan rehabilitasi di Ambon untuk di bawa dalam pertemuan kedua belah pihak di
Malino.
·
10 Februari 2002
Menko Kesra HM Jussuf Kalla
menyatakan konflik Ambon yang sudah berlangsung tiga tahun harus berhenti. Ia
mengatakan tidak ada pilihan, perselisihan mesti usai dan Ambon harus damai.
Jika tidak damai, masyarakat Maluku, khususnya di Ambon, akan menjadi paria,
miskin dan terbelakang dari aspek apapun.*[15]
*Upaya
seirus dan penting dari Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono dan Menko Kesra
HM Jussuf Kalla ketika menggagas dan mendesain perjanjian Maluku di Malino.
C. KESIMPULAN
Dari uaraian di
atas dapat terlihat, bahwa hubungan Islam dan Kristen di Ambon pada dasarnya
sangat Harmonis. Sejarah menyatakan kalau Islam memang pertama yang menyentuh
Pulau Maluku, baru menyusul pada masa VOC/Belanda di ikutkan penyebaran Kristen
Katolik dan Protestan.
Pada tahun 1999
sangat membekas kengerian tragedi di Kota Ambon, sampai ke kampung-kampung
menyoretkan luka di hati dan simpati terhadap fenomena ini. Kebanyakan orang
tidak mengenali Ambon lebih dalam, yaitu keharmonisan hubungan antar agama yang
cukup sulit didapati di daerah lain.
Tiap kali
perayaan Natal oleh Kristen sangat jarang dan langkah mendengar kabar
penyikapan yang buruk dari Islam kepada Kristen. Dan bahkan saling menghargai
dengan ikut mengucapkan dan menebar senyuman saat hai-hari besar antar agama
ini membudaya. Begitupun pada masyarakat muslim di Ambon yang mayoritas, mereka
justru lebih menjunjung tinggi ukhuwah
dibanding harus saling menjelek-jelekkan kepercayaan seperti kebanyakan
dilakukan daerah lain.
Namun, sangat
ironis ketika tiba-tiba Ambon meledak dengan pertikaian dan pembantaian
berdarah yang merenggut puluhan bahkan ratusan jiwa yang tak ada hubungannya
dengan faktor penyebab konflik. Warga sipil yang belum sempat mengasingkan diri
dari lokasi pertikaian menjadi bulan-bulanan para fanatik golongan. Ada yang
menganggap, penyebabnya karena umat Kristen yang lebih dulu menganiaya orang
Islam dan ada juga yang mengatakan sebaliknya. Belum jelas, namun
kronologisnya, begitulah yang terjadi.
Ratusan
masyarakat muslim maupun kristen dikompori oleh isu yang tidak dapat diauki
kebenarannya, membuat mereka dengan mudah berubah menjadi binatang yang tak
berakal. Betapa tidak, nyawa manusia sudah tidak lagi menjadi sesuatu yang
berharga dan darah mengalir seperti air yang muncrat dari pipa bocor.
Pihak Militer
mengakui, sulitnya meredam pertikaian antara dua golongan ini yang dari zaman
dulu selalu terjadi pelepasan pedang dan menghunus leher secara
berkesinambungan akibat dari sentimen agama. Media pun memberitakan tragedi
berdarah ini dengan bumbu yang berlebihan, sehingga merubah opini publik
menjadi lebih interest daripada
masyarakat asli Ambon sendiri. Ini mempengaruhi masyarakat dari luar Maluku
berdatangan untuk membela nama baik dan martabat agama masing-masing dan ada
juga lantaran ingin balas dendam karena keluarganya merupakan korban konflik.
Namun, ada sebagian yang
lain, boleh dikata para pakar sosiolog, menyatakan penyebab pemicu konflik ini
bukan hanya karena sentimen agama. Namun ada faktor-faktor tertentu yang sudah
lazim terjadi bukan hanya antar agama, tetapi, bahkan antar suku, daerah dan
negara. Yaitu faktor dari sisoal-politik, ekonomi dan budaya serta kesenjangan
sosial. Bahakan pemrintah pun disebut-sebut sebagai koordinator yang membuat skenario
menghilir ke kejadian konflik dengan strategi yang cukup sulit dianalisa oleh
publik. Suka atau tidak, konflik ini telah merobek-robek habis semua peradaban yang sangat tua di
Indonesia, yaitu kerukunan beragama; yang kata orang di Maluku-lah tempatnya.
Beberapa bulan
konflik berlanjut, jiwa melayang dan hanyut oleh siasat orang-orang pengecut.
Menyedihkan dan melukiskan fenomena berukir dendam di atas batu yang sulit
terhapus, sehingga menghantui pikiran dan terlahir presepsi-presepsi bahwa
Islam dan Kristen di Ambon adalah musuh besar dan akan sulit di satukan kembali.
Peristiwa ini
pun cukup besar membuat kesenjangan sosial yang telah lama di junjung tinggi
masyarakat muslim dan kristen di Ambon. Kedua belah pihak akhirnya saling
bertikai dan menumpahkan darah. Dari sejak tahun 1999 itulah kesenjangan ini
mulai terjadi antara dua agama yang dulunya rukun dan harmonis.
Upaya
pemerintah untuk perdamaian dan meredam konflik ini sangat strategis dan tepat.
Akhirnya setelah sampai pada titik, mungkin keletihan, kebosanan atau apapun
itu, pemerintah berhasil mewujudkan perdamaian dan perjanjian agar Maluku, Kota
Ambon tetap menjunjung istilah ‘Pela Gandong’.
Untuk dapat
mengatasi agar tidak terulang kembali kejadian memilukan ini, sejatinya suuatu
golongan atau agama mengadopsi teori yang ke dua contextualist. Teori ini menjelaskan bahawa suatu golongan atau
agama cenderung memahami kitab suci mereka atau adat mereka secara kontekstual
(tafsir). Jika ini yang selalu di pahami dan diimplementasikan, maka Ambon
tetap manise dan pela gandong selalu menjadi akar keharmonisan yang kuat (Bakti;2004:128).
DAFTAR PUSTAKA
Bakti, Andi Faisal,
communication and Family Planing In Islam
In Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Develpment Program,
Leiden-Jakarta: INIS, 2004.
Pieris, Jhon, Tragedi Maluku, Yayasan Obor Indonesia
Jakarta 2004.
Departemen Agama
RI, Konflik Sosial Bernuansa Agama di
Indonesia, Bagian Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat
Beragama, Jakarta 2003.
http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik, diakses pada 17 November 2011.
http://yusufeff84.wordpress.com/2010/04/13/metode-dan-pendekatan-tafsir-al-qur%E2%80%99an-oleh-yusuf-effendi-s-h-i/, diakses pada 02 Januari 2012.
Pro. Dr. Azyumardi Azra, MA, Merajut Damai di Maluku, PT. Intermasa-Jakarta, 2000.
http://arrahmah.com/read/2011/09/28/15484-penyusup-kristen-rms-bikin-ulah-di-kampung-muslim-ambon.html?comments=1, diakses pada 10-11-2011.
http://groups.yahoo.com/group/HambaTuhan/message/636, diakses pada 02 Januari 2012.
http://www.oocities.org/injusticedpeople/IhwalHubunganIslamKristendariMasakeMasa.htm, diakses pada 03 Januari01 2012.
http://www.antaranews.com/berita/290168/gpm-yakin-perayaan-natal-dan-tahun-baru-aman, diakses
pada 03 Januari 2012.
[1] Departemen Agama RI, Konflik
Sosial Bernuansa Agama di Indonesia, (Bagian Proyek Peningkatan Pengkajian
Kerukunan Hidup Umat Beragama, Jakarta 2003). Hal. 156
[6] Departemen Agama RI, Konflik
Sosial Bernuansa Agama di Indonesia, (Bagian Proyek Peningkatan Pengkajian
Kerukunan Hidup Umat Beragama, Jakarta 2003). Hal. 171-174.
[7] http://yusufeff84.wordpress.com/2010/04/13/metode-dan-pendekatan-tafsir-al-qur%E2%80%99an-oleh-yusuf-effendi-s-h-i/ (diakses pd
tgl 02, Januari, 2012).
[8] Pro. Dr.
Azyumardi Azra, MA, Merajut Damai di
Maluku, (PT. Intermasa-Jakarta, 2000). Hal. 18-19.
[9]http://arrahmah.com/read/2011/09/28/15484-penyusup-kristen-rms-bikin-ulah-di-kampung-muslim-ambon.html?comments=1
(diakses pada tgl, 10-11-2011)
[11] Jhon Pieris, Tragedi
Maluku, (Yayasan Obor Indonesia Jakarta 2004). Hal. 166: ‘Lihat Richard
Chauvel, Natonalist, Soldier and
Separatist: the Ambonese Island from Colonialism to Revolt 1880-1950 (Leiden:
KITLV, Press, 1990)’.
[13] http://www.oocities.org/injusticedpeople/IhwalHubunganIslamKristendariMasakeMasa.htm (diakses pd
tgl 03-01-2012)
[14] http://www.antaranews.com/berita/290168/gpm-yakin-perayaan-natal-dan-tahun-baru-aman (diakses tgl 03-01-2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar