Senin, 14 November 2011

AKU DAN NENEK ITU (realita)

 Terik matahari pada pukul 09.00 pagi di Ciputat panasnya serasa menembus tulang. Dan biasanya jam segitu aku mulai jalan kekampus. Kalau sempat sarapan biasanya tak pernah lepas dari sepotong ikan tongkol untuk menemani pauknya/nasi putih. Aku adalah pejalan kaki yang hampir tiap kali kekampus mencucurkan keringat karena jaraknya yang lumayan melelahkan.
Kini dua tahun sudah ku belajar di Jakarta tepatnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam hitungan semester, aku telah menginjak posisi semster lima di jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Dari pertama kuliah di UIN Jkt, jalur menuju kampus selalu melewati lorong itu hingga ke arah Masjid Fathullah. Sampai sekarang lorong itu lebih sering aku lewati karena sedikit pintas dan terlindung dari panasnya matahari pagi itu. Kawan-kawan kos juga sering lewat di lorong itu.
Koleksi pribadi penulis
Seorang wanita, dia tinggal di lorong itu yang lebih dikenal komplek UIN (karnea berjejeran kediaman dosen UIN disitu). Dia selalu tersenyum kepadaku. Bukan hanya itu, tanpa bertemu sebelumnya dan tak mengenaliku dia mengucapkan kata, “anak hebat”, ketika melihatku sambil mengacungkan ibu jarinya. Kali pertama peristiwa itu sangat biasa bagiku dan aku anggap dia hanya bercanda dan dua kata itu tak berpengaruh sama sekali.
Namun di lain hari, dia mengulangi kata yang sama dan melihatku dengan ekspresi yang sama ketika kembali melewati rumahnya yang jaraknya sudah tak jauh dengan Masjid Fathullah. Rumahnya di depan kediaman Bu Elidar, Dosen Psikologi Komunikasi di jurusan KPI. Dia wanita yang aneh namun dua kata itu kini telah membangkitkan semangatku. Berbdea dengan sebelumnya.
Kesekeian kalinya dia mengatakan seperti itu, “anak hebat”, aku merasa diri sebagai orang yang paling beruntung di dunia. Merasa bebas dan tidak kaku lagi lantaran dua kata itu. Aneh menurutku, karena dia tidak mengenaliku namun berulang-ulang jika melihatku lewat depan rumahnya dia mengatakan kata yang sama, “pemuda, hebaattt”. Dua kata yang membuatku refleks bersemangat karena ngiangnya yang berterusan yang tak sesuai dengan potensiku. Dia sama sekali tidak mengenaliku begitupun aku.
Kira-kira dia berumur 70 tahun-an. Namun wajah keriputnya tak nampak oleh lukisan wajahnya yang selalu tersenyum. Dia terlihat segar tiap pagi dan terlihat selalu kuat di mataku. Dia seorang Nenek yang pertama kali kudapati dalam hidupku yang spontan menyemangatiku dengan mata berbinar. Hingga tiap kali aku lewat depan rumahnya, aku selalu menantikan tegurannya dengan dua kata itu. Berulang-ulang aku menantikannya karena itu sangat mempengaruhi energiku saat malas akibat dosen-dosen yang suka membuat kompetisi dalam kelas laksana lomba pacuan kuda.
Namun pada tanggal 15-10-2011. Dia terlihat beda, dia terlihat tidak berdaya. Aku-pun merasakan yang beda dan tak sesemangat sebelumnya. Hari itu dia tidak terlihat dengan sapu ijuknya di teras rumahnya. Dia tidak terlihat mengobrol dengan suaminya. Dia justru di gendong dan dimasukkan kedalam mobil Kijang mungkin milik anaknya. Anaknya terlihat tersenyum. Tapi aku malah menjatuhkan air mata. Aku yang malah prihatin dengan kondisinya. Diam dan hatiku tersentuh dan mungkin merasa sedih pagi itu. Dia tidak sesegar dan sebinar sebelumnya. Ingin kudekati dan berharap dia melihat wajahku, namun tidak kulakukan karena aku akan merasa makin sedih dan keluarganya mungkin akan heran melihatku.
Jujur, hari senin itu sangat mengajarkanku akan pentingnya menghargai orang yang lebih tua sebelum yang lebih tua menghargai kita yang lebih muda. Hari itu aku benar-benar sedih dan sangat ingin berjumpa kembali dengan Nenek yang murah senyum itu. Dia tidak meremehkan pejalan kaki yang suka melewati areal rumahnya siapapun dia. Kata almarhumah Ibuku dan aku yakin ibu-ibu kalian juga, “hargai lebih dulu yang lebih tua darimu dan hargailah orang lain sekalipun dia lebih mudah darimu, niscaya akan banyak yang senang denganmu”. By Lo Ode

Tidak ada komentar:

Posting Komentar