Terik matahari pada pukul 09.00
pagi di Ciputat panasnya serasa menembus tulang. Dan biasanya jam segitu aku
mulai jalan kekampus. Kalau sempat sarapan biasanya tak pernah lepas dari sepotong
ikan tongkol untuk menemani pauknya/nasi putih. Aku adalah pejalan kaki yang
hampir tiap kali kekampus mencucurkan keringat karena jaraknya yang lumayan
melelahkan.
Kini dua tahun sudah ku belajar
di Jakarta tepatnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam hitungan
semester, aku telah menginjak posisi semster lima di jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam. Dari pertama kuliah di UIN Jkt, jalur menuju kampus selalu
melewati lorong itu hingga ke arah Masjid Fathullah. Sampai sekarang lorong itu
lebih sering aku lewati karena sedikit pintas dan terlindung dari panasnya
matahari pagi itu. Kawan-kawan kos juga sering lewat di lorong itu.
Koleksi pribadi penulis |
Seorang wanita, dia tinggal di lorong
itu yang lebih dikenal komplek UIN (karnea berjejeran kediaman dosen UIN
disitu). Dia selalu tersenyum kepadaku. Bukan hanya itu, tanpa bertemu
sebelumnya dan tak mengenaliku dia mengucapkan kata, “anak hebat”, ketika
melihatku sambil mengacungkan ibu jarinya. Kali pertama peristiwa itu sangat
biasa bagiku dan aku anggap dia hanya bercanda dan dua kata itu tak berpengaruh
sama sekali.
Namun di lain hari, dia
mengulangi kata yang sama dan melihatku dengan ekspresi yang sama ketika
kembali melewati rumahnya yang jaraknya sudah tak jauh dengan Masjid Fathullah.
Rumahnya di depan kediaman Bu Elidar, Dosen Psikologi Komunikasi di jurusan KPI.
Dia wanita yang aneh namun dua kata itu kini telah membangkitkan semangatku. Berbdea
dengan sebelumnya.
Kesekeian kalinya dia mengatakan
seperti itu, “anak hebat”, aku merasa diri sebagai orang yang paling beruntung
di dunia. Merasa bebas dan tidak kaku lagi lantaran dua kata itu. Aneh menurutku,
karena dia tidak mengenaliku namun berulang-ulang jika melihatku lewat depan
rumahnya dia mengatakan kata yang sama, “pemuda, hebaattt”. Dua kata yang
membuatku refleks bersemangat karena ngiangnya yang berterusan yang tak sesuai
dengan potensiku. Dia sama sekali tidak mengenaliku begitupun aku.
Kira-kira dia berumur 70
tahun-an. Namun wajah keriputnya tak nampak oleh lukisan wajahnya yang selalu
tersenyum. Dia terlihat segar tiap pagi dan terlihat selalu kuat di mataku. Dia
seorang Nenek yang pertama kali kudapati dalam hidupku yang spontan
menyemangatiku dengan mata berbinar. Hingga tiap kali aku lewat depan rumahnya,
aku selalu menantikan tegurannya dengan dua kata itu. Berulang-ulang aku menantikannya
karena itu sangat mempengaruhi energiku saat malas akibat dosen-dosen yang suka
membuat kompetisi dalam kelas laksana lomba pacuan kuda.
Namun pada tanggal 15-10-2011.
Dia terlihat beda, dia terlihat tidak berdaya. Aku-pun merasakan yang beda dan
tak sesemangat sebelumnya. Hari itu dia tidak terlihat dengan sapu ijuknya di
teras rumahnya. Dia tidak terlihat mengobrol dengan suaminya. Dia justru di
gendong dan dimasukkan kedalam mobil Kijang mungkin milik anaknya. Anaknya
terlihat tersenyum. Tapi aku malah menjatuhkan air mata. Aku yang malah
prihatin dengan kondisinya. Diam dan hatiku tersentuh dan mungkin merasa sedih
pagi itu. Dia tidak sesegar dan sebinar sebelumnya. Ingin kudekati dan berharap
dia melihat wajahku, namun tidak kulakukan karena aku akan merasa makin sedih
dan keluarganya mungkin akan heran melihatku.
Jujur, hari senin itu sangat
mengajarkanku akan pentingnya menghargai orang yang lebih tua sebelum yang
lebih tua menghargai kita yang lebih muda. Hari itu aku benar-benar sedih dan
sangat ingin berjumpa kembali dengan Nenek yang murah senyum itu. Dia tidak
meremehkan pejalan kaki yang suka melewati areal rumahnya siapapun dia. Kata almarhumah
Ibuku dan aku yakin ibu-ibu kalian juga, “hargai lebih dulu yang lebih tua
darimu dan hargailah orang lain sekalipun dia lebih mudah darimu, niscaya akan
banyak yang senang denganmu”. By Lo Ode
Tidak ada komentar:
Posting Komentar